PERANG KOTA; Perang Yang Dikobarkan Dengan Nafas Terengah-engah

Salut, begitu yang terlintas di benak saat saya membaca kabar bahwa Mouly Surya mengubah novella “Jalan Tak Ada Ujung” karya Muchtar Lubis menjadi film.

Sama sekali tak mudah untuk meyakinkan pemilik dana buat membiayai cerita dengan latar yang tak populer.

Semua produser pastilah sudah tahu racikan film yang berpotensi mengerakkan jari penonton untuk memencet tombol QRIS; film remaja dengan setting Jakarta (atau paling jauh Bandung) atau film hantu-hantuan dengan sosok yang ditakuti penduduk pulau Jawa atau kisah drama persaingan menantu perempuan dengan ibu mertua dan yang menjadi piala bergilirnya lelaki muda rupawan, alim juga kaya raya.

Sutradara terkemuka kita satu ini ambil jalur beda. Novella yang jadi sumber ceritanya terbitan tahun 50-an yang berkisah tentang figur yang hidup di tengah kekacauan masa revolusi kemerdekaan tahun 45-49. Tokoh-tokoh utamanya juga bukan orang Jawa. Dan tidak pula remaja.

Pokoknya racikan Mouly boleh dikatakan against all odds. Hora umum.

Bisa mendapatkan duit untuk mewujudkan visi aneh itu patut kita wow kan.

Saya tak tahu bagaimana ia bisa berkompromi demi itu. Yang jelas ia banyak mengubah detil-detil kisah “Jalan Tak Ada Ujung.”

Tak masalah. Itu hak ‘prerogatif’ sutradara (dan pemilik modal). Apalagi sang penulis novella sudah tidak ada. Jadi takkan ada pihak yang paling ‘berwenang’ untuk protes.

Sayangnya perubahan yang dibuat Mouly tak meng-upgrade cerita. Dia gagal membangun cerita yang solid.

Ariel Tatum & Chicco Jerikho tampak canggung membawakan peran sebagai orang Minang. Meski jemari Ariel saat memencet piano cukup meyakinkan.

Tokoh-tokohnya tampak berusaha keras menyelipkan sepatah dua patah kalimat berbahasa Belanda tapi bikin gatal telinga. Jatuhnya malah seperti orang baru belajar ber-Holland spreken satu mingguan.

Tim artistiknya tampak kurang referensi (atau mungkin dana) membangun setting kota besar Indonesia yang dikuasai NICA (baca: Jakarta) tahun 45-49. Settingnya (yang berlokasi di Semarang) lebih mirip kota abad lalu yang ditinggalkan dari pada bopeng akibat perang.

Rumah tokoh utamanya…. alamak, ditata alakadarnya. Suasana rumahnya lebih mirip bangunan yang lama tak dihuni. Bukan rumah masa revolusi.

Okelah mereka, pasangan Isa & Fatimah, sedang bokek. Tapi mereka dari keluarga menengah: punya gramofon, biola bahkan piano.

Sutradara wanita ini juga tampak ragu dalam mengarahkan adegan ranjang; gagal mengarahkan para pemeran serdadu Gurkha bersikap layaknya manusia bukan robot.

Pula dia kelihatan sekali keteteran dalam merangkai pace cerita. Di sana sini Mouly berpanjang-panjang ria.

Padahal novella Muchtar Lubis itu banyak potensi untuk diubah menjadi adegan-adegan menegangkan.

“Doea Tanda Mata,” film dengan plot dan setting mirip, buatan tahun 85 tampak jauh lebih digjaya.

Apapun itu, saya tetap beri tiga jempol pada Mouly.

Keberaniannya menentang arus patut dihargai.

Saya tetap punya harapan pada sutradara dengan visi gila macam Mouly. Dia pernah membuat kisah dengan bahan nyeleneh lainnya; Marlina Si Pembunuh Dalam Empat Babak, yang memperlakukan mayat suaminya bukan kayak mayoritas pemeluk agama negeri ini.

Semoga karya dia berikutnya lebih berani; mengangkat kisah Muchtar Lubis membongkar skandal Pertamina dan Ibnu Sutowo misalnya.