Israel yang Makin Biadab

Foto : instagram @alijadallah66

Penulis : Idrus F. Shahab

Anak yang tumbuh dengan veto serta perlindungan Amerika Serikat, dan rasa bersalah negara-negara Barat atas peristiwa holocaust dalam Perang Dunia II itu telah menginjak usia 75 tahun. Tapi tak jelas apakah dia telah dewasa.

Melalui mesin propagandanya, Israel sibuk membumihanguskan citra Hamas, kelompok Palestina yang telah mengejutkan Israel dengan serangan tak terduga di hari Yom Kippur, 7 Oktober. termasuk mengerahkan buzzer di Indonesia untuk merekatkan citra negatif terhadap Hamas — menurut pengakuan Israel sendiri.

Banyak orang yang termakan kesaksian wartawan yang mengaku telah mengutip pernyataan Perdana Menteri Israel bahwa di antara 40 bayi yang telah dihabisi Hamas di sebuah Kibbutz di perbatasan, sejumlah bayi sudah tak berkepala. Satu berita hoaks yang berbuntut panjang.

Kini Gaza luluh lantak, nyaris tak bisa dikenali lagi. Pesawat tempur Israel menghujani pemukiman sipil dengan bom dan selebaran yang menyuruh mereka cepat mengevakuasi Gaza. Menteri Pertahanan Israel Yoav Galant lalu memaklumkan sebuah collective punishment: tiada lagi suplai listrik, internet, air bersih, makanan dan obat-obatan di hari-hari ini bagi segenap warga Gaza.

Seperti yang dilakukan Westerling kepada warga Sulawesi Selatan 77 tahun silam, Israel menerapkan collective punishment : orang tua, wanita hamil dan orok pun harus ikut menanggung dosa Hamas. Tiada yang bisa menahan Israel.

Di bawah pemerintahan ultranasionalis, ekstrem kanan Netanyahu yang secara agresif mendorong pembangunan pemukiman Yahudi di kantong-kantong Arab Palestina, tampaklah bahwa rezim ini sama sekali tak berminat pada perdamaian model two state solution yang digadang-gadang masyarakat internasional.

Dengan perlindungan IDF (Tentara Pertahanan Israel), para pemukim Yahudi mengambil alih, merampas tanah orang-orang Palestina. Suka atau tidak, semua ini bermuara pada penyelesaian one state solution: Israel yang menguasai seluruh wilayah Palestina. Inilah kolonialisme yang tegak dengan sistem apartheid.


Ada sekelumit kisah menarik tentang mantan Menteri Luar Negeri Amerika Serikat John Kerry pada 2016. Mengunjungi negeri itu pada 1986, John Kerry menyimpan baik-baik ingatan mengenai negeri kecil demokratis yang dikelilingi negara-negara Arab yang memusuhinya. Ia terpesona. Kerry bagian dari politikus Amerika, dari Partai Demokrat dan Republik, yang cinta buta kepada Israel.

Tiga puluh tahun berselang, tepatnya tiga minggu sebelum kariernya sebagai Menteri Luar Negeri Amerika Serikat berakhir, Kerry mencoba menyarikan perjalanan diplomasinya di Timur Tengah. Berbicara panjang dan lantang, mengeluhkan pemerintah Israel “yang paling ’kanan’ yang dimotori elemen-elemen paling ekstrem dalam sejarah Israel”.

Dalam pidatonya sepanjang 72 menit, ia berbicara layaknya seorang Palestina. Menunjukkan gencarnya Israel membangun permukiman di Tepi Barat dan Yerusalem Timur belakangan, Kerry mempertanyakan kesungguhan Israel berdamai dengan Palestina. Keresahan Kerry menjadi-jadi setelah Dewan Keamanan PBB, kali ini tanpa veto Amerika, menyetujui Resolusi 2334.

Kendati resolusi ini tak mendatangkan sanksi apa pun bagi Israel, di mata seorang Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu dan kawan-kawan koalisinya, keengganan Amerika menggunakan hak veto merupakan pengkhianatan dari seorang kakak yang selama ini melindungi adiknya tanpa syarat.

Israel seperti memiliki privilese untuk tidak dinilai menurut ukuran masyarakat internasional. Sejak 1970, Amerika telah menggunakan 39 kali veto untuk melindungi Israel dari resolusi Dewan Keamanan PBB yang mengutuk atau mengecam tindakan atau sikapnya yang tak mengindahkan hak asasi orang Palestina. Kalaupun itu sampai lolos –ini sangat jarang terjadi– Amerika tetap melindungi Israel yang mengabaikan resolusi. Dimanja dengan kondisi ini, Israel menjadi negara yang sukar mendengarkan pendapat yang berbeda dengan kepentingannya.

Kini Amerika Serikat yang pernah bersikap “kritis” di masa Presiden Barack Obama – Menlu John Kerry seakan-akan “menyadari kekeliruan”-nya. Bersama para sekutunya, Inggris, Prancis, Jerman, dan Australia, Amerika Serikat di bawah kepemimpinan Presiden Joe Biden memproklamasikan dukungannya yang paling bulat kepada Israel. Bom-bom Israel kembali berjatuhan, menewaskan ribuan anak-anak, menghancurkan rumah-rumah, rumah sakit, bahkan gereja, di Jalur Gaza. Tiada yang bisa menahannya.

Dan tampaknya Israel tak sadar bahwa masyarakat internasional –vis a vis Negara– sudah tak tahan lagi menyaksikan pertunjukan kebiadaban ini dari waktu ke waktu.

Penulis: Idrus F. Shahab, wartawan senior, penyair, tinggal di Jakarta.
Catatan: Artikel dikutip atas izin penulis dari laman FB-nya.