Insersi Moderasi Beragama dalam Kurikulum Merdeka

Perubahan kurikulum yang digagas Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Mendikbudristek) Nadhiem Makarim dan merupakan suatu usaha mulia dan akan menjadi legacy, jika dilakukan dengan baik dan jujur demi kemajuan bangsa.
Momentumnya juga tepat, karena kita memerlukan terobosan baru dalam bidang pendidikan setelah dua tahun dihajar pandemi Covid- 19. Seperti kita ketahui, pada masa pandemi itu proses belajar mengajar tidak berjalan sebagaimana mestinya (lost learning). Tak pelak lagi, dunia pendidikan pun mengalami pergeseran paradigma (paradigm shift).
Perubahan itu pasti akan diikuti dengan berbagai kebijakan baru yang pada akhirnya akan mengubah tatanan dunia pendidikan yang ada saat ini. Dengan paradigma baru diharapkan dapat menemukan suatu usaha yang luar biasa (extra ordinary) agar menjadi leverage (daya ungkit) sehingga kita bisa menemukan suatu formula baru dalam tatanan pendidikan kita yang updated sesuai dengan tantangan zaman .
Oleh karena itu kita harus memastikan bahwa kurikulum baru dan berbagai instrumen kelengkapannya itu dapat menjadikan kita sebagai manusia merdeka, sebagaimana yang dicita-citakan dalam tujuan pendidikan nasional.
Kurikulum baru bukan hanya tidak boleh salah, tapi juga harus berkualitas, berkelas, bermutu dan bermanfaat. Kurikulum harus betul-betul memastikan dapat berfungsi instrumental sebagai sarana mengantarkan anak didik, guru-guru dan kita semua untuk sampai kepada cita-cita founding fathers kemerdekaan Indonesia yaitu memajukan kesejahteraan umum dan mencerdaskan kehidupan bangsa.
Perubahan kurikulum juga akan memfungsikan pendidikan untuk rekayasa social. Sebuah bangsa yang besar, bangsa yang maju, sesungguhnya merupakan akumulasi dari budaya yang otentik dengan rekayasa sosialnya. Jepang contohnya, bisa maju bukan tiba-tiba atau given. Jepang bisa maju karena mempunyai kepribadian yang sangat kuat, tidak mendadak atau sekedar warisan masa lalu. Tradisi belajar, terutama tradisi membaca pada anak-anak Jepang termasuk yang tertinggi di belahan dunia sejak anak usia kanak-kanak hingga perguruan tinggi. Jadi rekayasa sosial itu dilakukan mulai dari pendidikan paling dasar.
Perubahan kurikulum harus memberi perhatian kepada isu-isu strategis dan aktual. Dia juga harus terus responsif, dinamis dan aktual terhadap perkembangan zaman. Perubahan kurikulum tidak hanya dengan mengulang isu-isu masa lalu yang dulu dipelajari di sekolah dengan bahasa-bahasa baru atau sekedar terminologi baru tapi pada dasarnya adalah lagu lama (eufemistik). Mungkin tidak salah mengajarkan lagi pengalaman dan sejarah masa lalu, tetapi harus direaktualisasi, direvitalisasi, diberikan perspektif dan prospektif baru supaya sesuai dengan kebutuhan anak-anak sekarang.
Kurikulum Pendidikan Agama
Secara umum, tujuan pendidikan bukan hanya untuk membuat anak-anak itu pintar secara kognitif, memahami agamanya secara kognitif, akan tetapi bagaimana pengajaran agama itu bisa terinternalisasi dengan baik sehingga dapat membentuk karakter, atau kepribadian yang terefleksi dalam interaksi sosial, dalam interaksi sebagai warganegara.
Ada dua syarat yang harus dipenuhi agar tujuan pendidikan agama di sekolah bisa dicapai :
Pertama, pendidikan agama di sekolah harus bisa memahamkan kepada anak didik, tentang agamanya, tentang kewajiban agama. Tujuan utamanya (ultimate goal) nya adalah untuk membentuk anak didik kita menjadi anak-anak sholeh. Kurikulum baru harus dapat membentuk anak-anak yang bisa menjalankan agamanya dengan baik. Ukuran sukses atau tidaknya dilihat sejauh mana mereka menjalankan agamanya dengan baik dan benar.
Kedua, adalah bagaimana pengajaran agama bisa berfungsi menjadi instrumen perekat sosial (social binder). Hal ini agar anak-anak bisa menghargai orang lain atas dasar agama yang dipercayainya, yang dianutnya. Mereka dapat menghargai orang lain, orang yang berbeda dengannya, baik berbeda agama, suku, bahasa, maupun budaya.
Dengan adanya kurikulum nasional yang menjadi instrumen perekat sosial, maka anak didik akan tenang dan nyaman dalam beribadah. Mereka dapat menjalankan ibadah shalat, puasa dan seterusnya dengan baik dan tenang karena mereka memiliki pemahaman keagamaan yang baik dan bisa menghargai orang lain. Jadi agama betul-betul instrumental berfungsi sebagai pembentuk perilaku pribadi individu dan sosial. Inilah sesungguhnya esensi dari Islam rahmatan lil alamin.
Dengan belajar agama di sekolah, maka siswa diharapkan akan memiliki kepribadian sebagai makhluk beragama yang taat kepada Tuhan Yang Maha Esa yang memiliki karakter sosial yang toleran. Dua tujuan ini tentu tidak mudah dilakukan, tapi tentu harus diusahakan, diikhtiarkan. Semua harus berada dalam kerangka paradigma baru bagaimana agama di sekolah dapat membentuk pribadi sosial dan individu-individu yang religius dan sebagai warga masyarakat.
Masalahnya kemudian, adalah bagaimana menjadikan pelajaran agama sebagai pelajaran yang menarik di sekolah, bagi guru maupun bagi anak didiknya. Guru tidak sekadar menjejalkan doktrin-doktrin keagamaan kepada para siswa, apalagi sekedar dengan dihafal, akan tetapi dapat dikontekstualisasikan dengan perkembangan anak dan zamannya. Apalagi pelajaran agama di Indonesia merupakan pelajaran yang wajib diajarkan di sekolah, dari tingkat dasar hingga perguruan tinggi.
Di sejumlah negara Barat saat ini pelajaran agama itu wajib diajarkan di sekolah umum dengan berbagai alasan yang melatarbelakangi. Anak-anak TK sudah belajar agama dan diajarkan dengan model pembelajaran yang menarik dan menyenangkan. Belajar agama itu wajib diajarkan, tapi juga menjadi pelajaran yang menyenangkan untuk diikuti (compulsory and joyful).
Ada beberapa alasan mengapa pelajaran agama itu bisa menjadi menarik, diantaranya konten pembelajarannya actual sehingga menarik anak-anak dan orang tua. Para guru dapat menghadirkan pembelajaran agama dengan mengambil topik-topik yang sangat aktual dan dibutuhkan anak-anak. Ada banyak isu actual dan terkadang menimbulkan kontroversi, namun menarik bagi anak-anak sehingga memancing antusiame untuk menjadi bahan diskusi di kelas.
Tema aborsi misalnya menarik karena pola hidup bebas yang berkembang di dunia Barat yang banyak memunculkan kasus hamil di luar nikah atau hamil di usia dini. Dalam konteks ini guru bisa mempresentasikan topik aborsi dari perspektif agama; dari Islam, Kristen, Katolik Hindu dan Buddha, dan sebagainya bagaimana agama memandang aborsi.
Selain itu aborsi juga bisa dilihat dalam perspektif budaya, ekonomi maupun dalam perspektif hukum positif misalnya. Aborsi merupakan isu menarik dalam kehidupan anak-anak muda di Barat, karena anak usia 17 tahun sudah dianggap dewasa dan dapat hidup sendiri tanpa campur tangan orang tua. Sementara dalam perspektif Islam orang tua masih mempunyai tanggung jawab hingga seorang anak itu menikah. Tidak semata-mata alasan usia seseorang.
Tema ini bersentuhan langsung dengan dunia anak remaja dan banyak di antara mereka sering mendengarkan kasus-kasus tentang aborsi ini kemudian dibahas dari perspektif agama, karena bisa jadi agama memberikan satu pandangan yang baru dalam memahami kehidupan anak muda masa kini.
Pelajaran agama itu menarik karena pelajaran agama itu aktual. Dan agar pelajaran agama itu responsif maka pelajaran agama itu harus menyentuh sebagian dari kehidupan mereka atau keseharian mereka dan oleh karena itu tema yang diajarkan di sekolah harus terus bisa dikoneksikan, dihubungkan dengan kehidupan sekarang, dengan kehidupan anak-anak kita di lingkungan sekarang dan kekinian.
Guru juga bisa mengangkat tema tentang ibadah, tentang salat dan puasa misalnya, Guru mesti bisa menjelaskannya semenarik mungkin bagi anak-anak. Dengan demikian, mereka menjalankan salat atau puasa tidak hanya sekadar ikut-ikutan saja, tapi ada perspektifnya, ada argumennya. Topik tentang salat itu harus bisa dijelaskan dalam perspektif kekinian dan dalam perspektif anak didik (student centered), khatibunnas ‘ala qadri uqulihim, ajarilah seseorang atau siapa pun mereka sesuai dengan kemampuan akalnya.
Anak-anak dapat diajak untuk memahami bahwa ketika shalat, dan membaca kalimat takbir “Allahu Akbar” artinya adalah Allah maha besar. Jadi anak-anak akan memahami bahwa yang besar itu hanya Allah, yang lainnya tidak ada artinya.
Dengan memahami konsep salat ini, maka guru bisa mengajarkan tentang shalat bahwa ibadah shalat itu mengandung makna egalitarianisme, kesetaraan. Dengan demikian maka anak dapat memahami bahwa di hadapan Tuhan semua orang itu sama saja. Karena itu manusia tidak boleh sombong, tidak boleh arogan, tidak boleh merasa paling pintar, karena semua makhluk di hadapan Tuhan itu sama. Semua lahir di muka bumi ini dalam keadaan sama.
Guru juga bisa mengajarkan bahwa di dalam ibadah salat itu terkandung konsep tentang kesetaraan, konsep keadilan, konsep perjuangan. Setiap orang harus berjuang melakukan atau terlibat dalam sebuah rekayasa sosial sehingga setiap orang bisa tampil beda. Setiap anak bisa maju apabila mereka belajar dengan Sungguh-sungguh karena hanya dengan belajar sungguh-sungguh maka seseorang akan mendapatkan keinginannya (man jadda wa jada).
Jadi konsep kesetaraan (equality) misalnya dengan salat ini bisa dijelaskan bahwa setiap orang tidak boleh merasa rendah diri, tidak boleh merasa minder kepada siapa pun, karena Yang Maha Besar hanya Allah swt. Dengan memahami agama yang benar maka anak-anak tidak perlu merasa minder, rendah diri atau terasing, karena manusia itu dasarnya sama saja yaitu makhluk mulia yang diciptakan Tuhan.
Penguatan Karakter
Dengan adanya kurikulum baru ini diharapkan pelajaran agama dapat dibuat menarik, dan menyenangkan. Konsep-konsep dalam kurikulum harus dikapitalisasi menjadi sesuatu yang penyajiannya menarik sehingga anak-anak kita tertarik untuk belajar agama.
Pelajaran agama ini sebenarnya merupakan pelajaran yang paling berpotensi untuk dikapitalisasi jadi pelajaran yang paling menarik karena agama ini bisa bicara dalam banyak hal, politik, ekonomi, budaya, maupun seni. Pelajaran agama adalah pelajaran yang paling responsive dengan perkembangan anak-anak dan bisa memberikan perspektif menghadapi persoalan-persoalan manusia.
Selain konten pengajaran agama harus menarik, guru agama juga harus menarik. Profesi lain boleh tidak atraktif, tapi kalau guru harus atraktif. Harus menarik. Orang yang bekerja dengan mesin atau komputer dia bisa tidak menarik, tapi seorang guru haru atraktif karena akan menentukan efektivitas proses belajar mengajar. Jadi siapa pun yang menjadi guru, dia harus atraktif.
Pelajaran agama menjadi sangat menarik, diminati, disenangi dan membuat suasana kelas itu sangat hidup, sangat interaktif, karena guru bisa menciptakan suasana interaktif di mana muridnya fully engage dan anak-anak terlibat aktif dalam proses pembelajaran di sekolah.
Guru dituntut untuk bisa mengantarkan pendidikan agama ini secara efektif. Ini adalah tugas yang sangat besar, karena di satu harus mencerdaskan mereka, di sisi lain harus membentuk karakter mereka. Dengan pelajaran agama karakter mereka betul-betul terbentuk, Guru harus bisa menghubungkan pelajaran agama dengan integritas, agar bagaimana caranya dengan pelajaran agama membuat anak-anak itu berintegritas. Guru harus bisa menghubungkan bagaimana pelajaran agama bisa menjadikan anak-anak itu disiplin, kreatif, memiliki rasa ingin tahu, kritis, dan memiliki karakter sesuai dengan ajaran agama.
Hal ini sejalan dengan program prioritas pemerintah yaitu pendidikan karakter dan menjadi menjadi tugas bersama bagaimana pelajaran agama bisa menjadi sarana untuk pembentukan karakter, karakter yang damai, yang respectful, yang santun dan seterusnya.
Pendidikan agama itu sesungguhnya menjadi instrumen paling strategis, paling efektif, paling powerful untuk mewujudkan pendidikan karakter yang baik. Guru harus menjadikan pendidikan anak berkualitas menjadi anak sholeh, menjadi anak yang baik, anak yang berbakti, menjadi seorang hamba kepada Allah dan juga menjadi seorang warga negara yang baik.
Perubahan kurikulum saat ini jangan semata hanya karena ganti Menteri ganti kurikulum. Kurikulum ini memang perlu dilakukan perubahan karena kita ingin memoderasi anak didik kita agar menjadi manusia merdeka, merdeka dari kebodohan, ketertinggalan dan ketidakadilan.
24 Desember 2022.
Penulis adalah Kasubdit PAI SMP/SMPLB Direktorat PAI Kementerian Agama dan Pembina Yayasan Al Ihsan Anyer Banten. Pernah sekolah di Curtin University Perth Western Australia di bidang manajemen pendidikan.
Pengurus DPP GUPPI
Pembina Yayasan Al Inayah Tangerang Selatan.
Pembina Yayasan Pendidikan Al-Ihsan Indonesia (YPAI) Anyar, Serang,