Super Rich Culture dan Poverty Culture, Solidaritas Mengatasi Kemiskinan
Dalam masyarakat kota besar menurut ahli kebudayaan terdapat dua jenis kebudayaan. Yaitu yang disebut super rich culture dan poverty culture. Super rich culture adalah kebudayasn orang-orang kaya atau kaum berpunya, sedangkan poverty culture adalah kebudayaan orang-orang miskin yang hidup dengan keterbelakangan ekonomi.
Tulisan ini tidak akan membahas dari aspek antropologi yang biasanya menyoroti dari segi sikap mental dan etos masyarakat dalam menyikapi pembangunan dan perubahan masyarakat.
Dalam tulisan ini hanya akan menguraikan dari sisi gaya hidup dan menghubungkannya dengan upaya menumbuhkan sikap saling tolong menolong dan kebersamaan antara mereka yang hidup sejahtera dan mereka yang masih kesulitan dalam memenuhi kebutuhan ekonomi keluarga.
Memang dalam masyarakat terdapat kelompok kecil orang yang memiliki kekayaan maupun aset yang jauh melebihi kebutuhan sehari-hari. Mereka tidak lagi memikirkan kebutuhan sehari-hari karena asetnya yang sudah melimpah. Mereka memiliki kekayaan baik uang, tabungan, tanah, properti, saham, mobil mewah dan lainnya. Meminjam istilah Pak Amien Rais, di masyarakat terdapat kelompok masyarakat yang bisa menghasilkan uang dengan mudah yang disebut making money. Mereka ini bukan hanya mudah menghasilkan uang karena profesinya, tapi juga nilainya sangat besar . Di antara profesi yg mudah menghasilkan atau making money ini di antaranya adalah konsultan, bankir, pengacara, pialang saham, politisi, makelar atau broker dan lainnya. Mereka inilah yang secara budaya disebut super rich culture . Sekarang orang yang tergolong kaum the haves ini dengan mudah bisa dilihat karena mereka juga suka show di medsos dengan menampilkan rumah mewah mereka atau kendaraan mewah yang harganya miliaran rupiah.
Untuk politisi dan pejabat kekayaan mereka dengan mudah diketahui karena wajib membuat laporan kekayaan ketika mau mulai menjabat dan kala mengakhiri jabatan. Dan sebagian besar kita lihat kekayaannya luar biasa besar bukan hanya miliaran tapi triliunan.
Menumbuhkan solidaritas sosial
Media sosial dan online saat ini dihebohkan perseteruan dua pengacara. Mereka yang awalnya konflik masalah hukum, namun kemudian merembet saling unjuk kesuksesan dan kekayaan. Bahkan, di antara pengacara ini ada yang memiliki puluhan asisten pribadi wanita- wanita cantik yang diberikan hadiah mobil, berlibur ke tempat wisata terkenal dan menikmati suasana hiburan yang menyenangkan. Tentu ini adalah hak pribadi seseorang yang tidak bisa diintervensi. Hanya yang ingin ditunjukkan adalah bahwa mereka sebagai super rich dengan profesinya mampu menghasilkan pendapatan yang super besar.
Berbeda dengan orang yang hidup dalam poverty culture mereka harus bekerja keras untuk bertahan hidup. Mereka antara lain yang bekerja sebagai pedagang keliling, pedagang sektor informal di pinggir jalan, pekerja rumah tangga, satpam dan banyak jenis pekerjaan kecil lainnya, pendapatan mereka tidak mencukupi untuk kebutuhan sehari- hari. Beban hidup mereka sangat berat, sehingga mereka juga tidak mampu menyekolahkan anak-anaknya. Mereka juga tidak memiliki rumah milik sendiri sehingga harus menyewa atau mengontrak menambah beban hidup makin menindih. Beban itu akan makin terasa berat lagi apabila dalam keluarga ada yang sakit dan butuh biaya pengobatan yang tidak kecil, yang adakalanya tidak mampu membiayainya. Hal ini yang dalam masyarakat muncul guyonan, “orang miskin dilarang sakit”.
Menurut data BPS jumlah orang miskin di Indonesia 26,50 juta. Menko Pembangunan Manusia dan Kebudayaan Prof. Muhadjir Effendy 2 tahun lalu pernah mengusulkan supaya dilakukan perkawinan lintas ekonomi. Untuk itu katanya perlu dikeluarkan fatwa orang kaya wajib kawin dengan orang miskin, dan orang miskin kawin dengan orang kaya. Konsep ini katanya untuk mengatasi kemiskinan di Indonesia. Untuk itu konsep kawin se-kufu atau setara dalam fikih Islam perlu ditinjau kembali.
Berbeda dengan Muhadjir Effendy, Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri belum lama ini membuat pernyataan yang bikin heboh. Katanya, ia tidak mungkin mencari menantu tukang bakso. Meski pernyataan itu disampaikan dengan nada guyon di hadapan rakernas PDIP yang dihadiri oleh Ketua DPR Puan Maharani dan Presiden Joko Widodo dianggap bersifat rasis dan tidak menunjukkan simpati pada orang miskin, padahal PDIP katanya adalah partai wong cilik.
Dalam mengatasi kemiskinan di Indonesia disamping perlu pendekatan ekonomi dan agama (dalam Islam kewajiban mengeluarkan zakat), juga perlu pendekatan “hati’ dan kemanusiaan. Artinya, kemiskinan itu adalah persoalan bersama yang semua harus merasakan kepedihan dan penderitaan sebagai orang tidak berpunya. Perasaan sedih bersama dan empati pada kedukaan yang dihadapi orang miskin diharapkan mampu dan mendorong orang kaya untuk meringankan beban penderitaan orang miskin. Ia diharapkan bisa menjadi gerakan budaya. Bila ini bisa menjadi kepedulian bersama dan rasa simpati bersama, In Syaa Allah masalah kemiskinan akan diselesaikan oleh masyarakat secara mandiri dan swadaya. Pemerintah tidak perlu repot ikut mencari solusinya. Dan,para petinggi kita kalaulah tidak bisa membantu janganlah membuat pernyataan yang menambah penderitaan orang yang tidak berpunya. Hidup mereka sudah malang dan janganlah diperberat lagi?
Dra. Hj. Eny Suhaeni, MSi, lulusan IAIN CIputat Fak. Ushuluddin dan alumnus S2 Universitas Indonesia (UI) Program Studi Sosiologi, sekarang Komisioner Baznas Kab. Tangerang,Banten, dan dosen Universitas Islam Syekh Yusuf (UNIS) Tangerang, Banten.