ASAH KEPALA, TANGAN DAN HATI

Di dunia pendidikan kita mengenal tiga ranah (domain) yang harus dikembangkan pada peserta didik: kognisi, afeksi dan konasi. Yang pertama menekankan aspek penerimaan informasi. Dari sini peserta didik diharapkan mampu menjelaskan kembali informasi yang telah diserapnya. Kemampuan kognisi berguna untuk mengombinasikan cara-cara baru dan mensintesikan ide-ide baru. Aspek-aspek yang dikembangkan pada ranah kognisi adalah kemampuan mengetahui, mengingat, memahami, menganalisis, dan mengevaluasi. Ranah kedua menekankan aspek emosi, sikap, apresiasi, nilai, dan tingkat kemampuan menerima atau menolak sesuatu. Sedangkan ranah ketiga, yang juga disebut aspek psikootorik, menetikberatkan pada keterampilan teknis, memanipulasi gerak, merangkai berbagai gerak, dan meniru gerak. Pembagian tujuan pendidikan ke dalam tiga ranah ini lazim disebut taksonomi Bloom. Dikatakan demikian, karena Benjamin S. Bloom-lah yang pertama kali menyusun tujuan pendidikan berdasarkan tiga domain tersebut.

Apa pun misi dan visi yang dibuat oleh setiap satuan pendidikan, sebenarnya tetap bertumpu pada upaya mengembangkan sisi kognitif, afektif dan psikomotorik, atau yang disebut “3 H” (head, heart, hand). Yakni peningkatan pengetahuan (head), pengembangan sikap (heart), dan penguasaan keterampilan (hand). Ki Hajar Dewantara menyebutnya cipta, rasa, dan karsa. Belakangan ada juga yang merumuskannya dengan istilah “imtak dan iptek” (akronim dari iman dan takwa dan ilmu pengetahuan dan teknologi), selain iman, ilmu, dan amal. Idealnya pendidikan harus mampu mengembangkan prinsip keseimbangan perkembangan “3 H” tersebut.

Kita ketahui, pengetahuanlah terutama yang diajarkan di sekolah-sekolah, dari tingkat dasar sampai tingkat yang paling tingi. Sekolah sudah identik dengan tempat kegiatan orang untuk mengembangkan pengetahuan. Dalam masyarakat modern, kontribusi keluarga pada aspek penguasaan pengetahuan dan keterampilan memang semakin mengecil dibandingkan dengan peran sekolah.

Dalam ajaran Islam disebutkan bahwa mencari ilmu (thalabul ilmi) merupakan keharusan bagi setiap Muslim, yang mesti dijalani sepanjang hayat yakni sejak buaian sampai tepi kuburan. Karena itu, kegiatan meningkatkan pengetahuan ini merupakan ibadah permanen. Dengan kata lain, mencari ilmu tidak semata didorong oleh kebutuhan praktis, melainkan juga dilandasi alasan teologis. Thalabul ilmi atau kegiatan mencari ilmu, tidak syak lagi, merupakan tindakan religius serta bersifat etis dan, karena itu, sangat menyenangkan Tuhan. Oleh karena itu kegiatan menuntut ilmu menuntut etos tertentu. Al-Juwayni (wafat 478 H./1085 M), misalnya, menyebut kecerdasan, ketekunan, sabar dalam kemelaratan, petunjuk guru, bekal selama berkelana di negeri asing, dan keteriakatan pada waktu yang lama, sebagai syarat yang harus dipenuhi oleh orang yang akan menuntut ilmu. Jadi, mencari ilmu itu tidak semudah orang berangkat ke sekolah.

Perlu ditegaskan, bahwa kegiatan mencari ilmu atau “mendidik kepala”, bukan sekadar memperkaya gudang pengetahuan peserta didik. Tapi yang lebih penting adalah bagaimana mengembangkan kemampuan bernalar atau keterampilan berpikir.

Selain mendidik kepala, yang membuahkan kecerdasan intelektual atau penguasaan pengetahuan, pendidikan juga dimaksudkan untuk mengasah atau memahirkan keterampilan. Dari sini peserta didik diharapkan memiliki keterampilan teknik atau kecakapan hidup (life skills). Di zaman sekarang, salah satu keterampilan pokok yang mesti dikuasai oleh peserta didik adalah kemampuan mengoperasikan komputer.

Yang terakhir, tapi justru paling pokok, adalah mendidik kalbu. Pendidikan kalbu ini akan mengantarkan seseorang memasuki kecerdasan emosional, kecerdasan sosial, dan kecerdasan spiritual. Jika pendidikan yang diarahkan kepada penguasaan pengetahuan lebih bercorak pengajaran, sedangkan upaya pemahiran keterampilan lebih bersifat pada pelatihan, maka pendidikan kalbu lebih mengarah pada pembimbingan. Melalui pembimbingan itu peserta didik diharapkan memiliki kepribadian yang mantap (jujur, disiplin, bertanggung jawab, mandiri) dan bertingkah laku berdasarkan prinsip-prinsip moral. Sudah saatnya lembaga-lembaga pendidikan di Tanah Air memberi bobot yang tinggi pada aspek mental kepribadian atau pembangunan jiwa. Sering dikatakan bahwa semua kebobrokan yang menimpa negeri kita sekarang, yang antara lain ditandai praktek korupsi yang berlangsung secara sistemik dan dalam skala massif, muncul lantaran absennya watak yang kokoh pada bangsa kita. Watak bangsa rapuh dan watak manusia Indonesia mudah goyah.