Penghapusan Istilah Madrasah dalam RUU Sisdiknas Berlawanan dengan Konstitusi

MI Raudlatul Ulum Kadudago, Sindangkarya, Anyar.

Berbagai kalangan menolak Rancangan Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas), yang sudah terlanjur beredar di masyarakat. Penolakan terhadap RRU Sisdiknas itu antara lain karena dihilangkannya penyebutan Madrasah. Beberapa pemangku pendidikan yang menolak RUU tersebut antara lain Aliansi Penyelenggara Pendidikan Indonesia (APPI), terdiri dari Majelis Dikdasmen PP Muhammadiyah, Majelis Pendidikan Kristen (MPK) di Indonesia, Majelis Nasional Pendidikan Katolik (MNPK), Pengurus Besar Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI), Persatuan Tamansiswa, dan Himpunan Sekolah dan Madrasah Islam Nusantara (HISMINU). Penolakan juga datang dari sejumlah pemimpin parpol dan ormas Islam.

Menurut Wakil Ketua MPR Dr. Hidayat Nur Wahid, penghapusan Madrasah dalam RUU Sisdiknas tidak sesuai dengan teks dan spirit UUD NRI 1945 pasal 31 ayat 3 dan 5. Sehingga wajar bila ditolak oleh APPI dan masyarakat luas. Seharusnya, kata dia, Kemendikbudristek melalui RUU Sisdiknasnya memayungi, mengakui dan mengembangkan seluruh bentuk satuan pendidikan yang diakui, sudah berkembang, diterima, diakui oleh Masyarakat dan oleh Negara. Bukan justru menghapuskan institusi Madrasah dan memperbesar diskriminasi antar satuan pendidikan tersebut.

Hidayat, yang juga Anggota Komisi VIII DPRRI, membidangi masalah Agama, mengingatkan agar Kemendikbudristek memahami konstitusi secara benar. Karena UUD NRI 1945 secara eksplisit menyebutkan tujuan pendidikan nasional yang sangat terkait dengan agama, dan terminologi keagamaan. Serta pentingnya satuan pendidikan keagamaan seperti Madrasah dalam kontribusinya yang panjang terhadap pendidikan nasional. Menurut, Wakil Ketua Majelis Syura PKS in, tidak disebutkannya Madrasah merupakan langkah mundur ke tahun 1989. Atau kembali ke masa Orba, di mana dalam UU Sisdiknas waktu itu (UU No. 2/1989) Madrasah bukan bagian dari satuan pendidikan Nasional. Namun, di era Reformasi, masalah tersebut sudah dikoreksi dengan hadirnya UU Sisdiknas No. 20 Tahun 2003. Dalam UU tersebut, Madrasah disebutkan sebagai bagian pendidikan formal. Karenanya Hidayat berharap jika ada Revisi UU Sisdiknas, maka itu dalam rangka menghadirkan keadilan dan posisi yang seimbang antara madrasah dan sekolah. Bukan justru menghapus Madrasah sebagai satuan pendidikan formal yang diakui oleh Negara.

“Memang Madrasah berada di bawah Kementerian Agama, sementara Sekolah di bawah Kemendikbudristek dan Dinas Pendidikan Daerah. Tetapi juga terbukti dari Madrasah muncul lembaga pendidikan yang berkualitas dan unggulan bahkan secara nasional seperti MAN Insan Cendekia, sekalipun pendanaan Madrasah yang bersumber dari APBN tertinggal jauh dari Sekolah yang mendapatkan alokasi dari APBN dan APBD. Ini di antara masalah yang seharusnya diselesaikan melalui RUU Sisdiknas terbaru, bukan malah menghapus Madrasah,” ujarnya.

Lebih jauh Hidayat menilai, alasan Kemendikbudristek melalui Kepala Badan Standar Kurikulumnya (27/3) bahwa penghapusan tersebut agar penamaan jenjang pendidikan menjadi lebih fleksibel, hanya dibuat-dibuat. Kebijakan itu menunjukkan Kemendikbudristek tidak memahami tujuan Pendidikan dalam konstitusi juga sejarah UU soal Sistim Pendidikan Nasional.

Sebab, UU Sisdiknas yang digunakan sekarang (UU No. 20/2003) justru sudah sesuai dengan Konstitusi. Mengakui eksistensi Madrasah, dan karenanya memasukkan unsur “bentuk lain yang sederajat” dalam tiap pasal mengenai bentuk pendidikan. Menurut HNW tidak ada urgensi pengubahan nama satuan pendidikan di tengah banyaknya beragam persoalan pendidikan yang harus diselesaikan. Misalnya, di pasal 28 ayat 3 UU 20/2003 disebutkan bahwa pendidikan usia dini berbentuk TK, RA, atau bentuk lain yang sederajat. Artinya fleksibilitas penamaan itu sudah dimungkinkan dan tidak bisa menjadi alasan untuk penghapusan Madrasah. Patut dipertanyakan juga jika Kemendikbudristek hendak mengubah nama satuan pendidikan seperti Madrasah yang sudah mempunyai jejak sejarah yang panjang dan sudah sangat melekat di masyarakat.

Insiden penghapusan madrasah dalam RUU Sisdiknas, kata HNW juga berakar dari Kemendikbudristek yang tidak mementingkan pendidikan keagamaan dan pentingnya ajaran agama (iman, takwa, dan akhlak mulia) sebagai tujuan pendidikan nasional. Sekalipun disebut sangat jelas di dalam UUD NRI 1945. Pasalnya, kejadian ini mengingatkan kembali beberapa kontroversi yang sebelumnya dibuat oleh Kemendikbud. Seperti, hilangnya frasa Agama dalam Peta Jalan Pendidikan Nasional 2020-2035. Hilangnya frasa iman dan takwa kepada Tuhan YME dalam PP tentang Standar Pendidikan Nasional. Dan hilangnya banyak tokoh bangsa dari kalangan Umat Islam dalam Jilid I Kamus Sejarah Indonesia. Sekalipun semuanya kemudian ditarik oleh Kemendikbud. Dia menegaskan, “Dengan munculnya RUU Sisdiknas yang menghapus Madrasah, mengingatkan Publik terhadap terulangnya masalah di Kemendikbud terkait dengan komunitas Agama dan Umat Islam. Banyak pihak khawatir kalau Kemendikbudristek berpandangan bahwa pendidikan Nasional harus dipisahkan dari pendidikan keagamaan dan nilai-nilai agama. Pandangan sekuleristik tersebut keliru, berbahaya, dan tak sesuai dengan UUDNRI 1945 dan Pancasila. Maka sudah seharusnya bila ditolak oleh APPI, dan oleh DPR tidak dimasukkan ke Prolegnas. Seperti yang sebelumnya, Kemendikbudristek segera membatalkannya, agar Kemendikbudristek kembali fokus merampungkan masalah yang urgent. Yaitu mengatasi dampak-dampak negatif dari covid-19 terhadap pendidikan dan dunia pendidikan, yang dikhawatirkan oleh Guru, Siswa, Orang tua dan masyarakat umumnya.”

Madrasah Bergerak

Menyikapi wacana hilangnya nomenklatur madrasah dari RUU Sisdiknas, Ketua Persatuan Guru Madrasah (PGM) Indonesia Jawa Barat, Hasbullah, menginstruksikan kepada seluruh elemen madrasah terutama di Jawa Barat, untuk melakukan gerakan penolakan wacana tersebut dengan tag line “Madrasah Bergerak”.

Menurut Hasbullah, hal tersebut dilakukan karena terlihat pihak-pihak yang secara sistematis berusaha menghapuskan sistem madrasah hilang dari sistem pendidikan nasional secara terstruktur. Padahal, sistem pendidikan madrasah memiliki argumentasi yang kuat untuk diwajibkan masuk ke dalam UU Sisdiknas. Pertama, bahwa sistem pendidikan madrasah dan pesantren telah terlebih dahulu eksis dan mengakar di Nusantara sebelum sistem sekolah yang dibawa oleh penjajah belanda masuk ke Nusantara. Kedua, sistem pendidikan madrasah adalah sistem yang mampu bertahan walaupun tanpa keberpihakan pemerintah dalam mengembangkan dan mempertahankannya. Ketiga, sistem pendidikan madrasah sudah terbukti mampu melahirkan generasi bangsa yang beriman dan bertakwa sebagaimana mana tujuan dari pendidikan di Indonesia. Keempat, sudah banyak alumni madrasah yang tampil sebagai pendiri bangsa, penyelamat bangsa dan juga tokoh bangsa. sistem pendidikan madrasah adalah sistem pendidikan yang lahir dan dikembangkan oleh masyarakat sehingga 80 % mayoritas swasta dan hanya kisaran 20 % yang negeri.

Sejak Indonesia ini berdiri, masih kata Hasbullah, madrasah selalu mendapatkan diskriminasi dari pemerintah, namun tetap mampu bertahan karena melekat dan mengakar di masyarakat. Ia menambahkan, wacana penghapusan sistem madrasah ini sudah sering dimunculkan di tingkat pusat, dengan berbagai cara. Namun bagi guru madrasah ini menjadi momentum besar agar madrasah berjuang dengan segenap kekuatan yang ada untuk mendapakan pengakuan dari negara sebagai lembaga pendidikan yang teruji bertahan dan eksis di Indonesia.

Respons Kemendikbudristek

Dalam pada itu, Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek) menyatakan, RUU Sisdiknas saat ini masih dalam tahap perencanaan. Kepala Badan Standar, Kurikulum, dan Asesmen Pendidikan Kemendikbudristek Anindito Aditomo menjelaskan, saat ini naskah RUU Sisdiknas pun masih terus melalui tahap revisi berdasarkan hasil uji publik. “Dalam tahap perencanaan ini draf masih terus direvisi berdasarkan masukan para narasumber uji publik dan dari panitia antar kementerian,” ujar Anindito, seperti dikutip Kompas.com, (31/3/2022).

Menurut dia setelah proses perencanaan selesai, maka naskah tersebut akan diusulkan kepada DPR untuk menjadi program legislasi nasional (prolegnas) prioritas. “Sehingga bisa mulai dibahas secara terbuka. Untuk saat ini kami berfokus pada menghasilkan usulan kepada DPR,” kata Anindito. Sebelumnya ramai diberitakan mengenai dugaan hilangnya frasa madrasah dari RUU Sisdiknas.

Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Mendikbudristek) Nadiem Makarim pun telah membantah dan menyatakan, pihaknya tak pernah berencana untuk menghapus madrasah atau sistem pendidikan lain dari Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas). Anindito pun mengatakan, naskah RUU Sisdiknas yang saat ini beredar sehingga menuai polemik tersebut tak resmi. “Jadi draf yang beredar itu tidak resmi dan tidak bisa dikutip karena terus berubah,” ujar dia. Lebih lanjut, revisi RUU Sisdiknas diharapkan selesai dibahas ditingkat pemerintahan dan diusulkan kepada DPR pada bulan ini. RUU ini diarahkan menjadi UU pengganti dari UU Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sisdiknas, UU Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen, dan UU Nomor 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi. “Targetnya bulan ini (diusulkan ke DPR), tapi tidak bisa dipastikan karena semua kementerian harus sepakat dahulu. Uji publik akan dilanjutkan untuk membahas draf yang sudah disepakati antar kementerian,” kata Anindito.