PESANTREN HARUS MENGEMBANGKAN MEDIA DIGITAL UNTUK DAKWAH

Santri sedang asyik dengan internet

Pondok pesantren di Indonesia diharapkan dapat menjadikan media digital sebagai sarana dakwah untuk meningkatkan mutu umat Islam di Indonesia. Saat ini banyak pesantren yang sudah mengembangkan media digital namun belum dijadikan sebagai sarana dakwah dalam menjawab persoalan-persoalan aktual di masyarakat. Untuk itu diperlukan penguatan ketrampilan (skill) dan jaringan diantara para pengelola pesantren.

Hal ini mengemuka dalam kegiatan Halaqah Strategi Pengembangan Media Digital di Pesantren di Jakarta, Kamis, 25/1/2024 yang dilaksanakan oleh Perhimpunan Pengembangan Pesantren dan Masyarakat (P3M).

Direktur Tempo Institute, Qaris Tajudin menyinggung ada banyak hal yang perlu dilakukan untuk mengurai persoalan pada media digital pesantren ini. “Problem apa yang ada pada media pesantren itu perlu pemetaan lebih dalam. Apakah media pesantren itu menjadi media dakwah? Atau media pesantren itu hanya sebagai sarana sosialisasi kegiatan pesantren semata. Ini yang perlu kita cermati dulu,” ungkap Qaris.

Menurut Qaris, kebutuhan Informasi tentang Islam saat ini sangat tinggi. Hal ini terbukti sekarang media-media mainstream ada banyak yang menurunkan tulisan-tulisan tentang Islam. “Media-media besar nasional sekarang ini banyak memuat konten keislaman. Ini menjadi bukti bahwa keingintahuan masyarakat tentang khazanah Islam itu sangat tinggi,” ungkapnya. Untuk itu ia mengharapkan agar pengelola pesantren meningkatkan kemampuan dan ketrampilannya, tidak sekedar asal membuat dan tidak jelas tujuannya.

“Pengelola pesantren harus menguasai technical skill maupun management skill dalam mengelola medianya. Ada yang memikirkan kontennya, namun juga ada yang memikirkan kelangsungan hidup medianya. Sehingga bisa sejalan dengan kebutuhan saat ini,” kata Qoris, yang pernah mengenyam Pendidikan di Al Azhar Kairo.

Pada kesempatan yang sama, Direktur P3M Sarmidi Husna mengatakan bahwa acara halaqah ini diharapkan dapat merumuskan langkah strategis dan penguatan jaringan dalam pengembangan media digital di lingkungan pesantren.

“Di era digital ini, pesantren juga tidak luput merasakan dampaknya dunia digital. Pesantren banyak mendapatkan manfaat dari penggunaan teknologi informasi ini, namun juga terdapat berbagai tantangan yang perlu dihadapi agar memberikan manfaat bagi kehidupan pesantren,” kata Sarmidi

Menurut Sarmidi, pengembangan media digital di pesantren juga dapat membuka peluang dalam meningkatkan pemberdayaan ekonomi dan pendidikan di pesantren. “Para pimpinan pesantren harus mampu merespon perkembangan yang terjadi saat ini, sehingga pesantren dapat membuka peluang untuk melakukan pemberdayaan masyarakat, baik pada aspek ekonomi, pendidikan maupun social kemasyarakatan”, kata Sarmidi.

Saat ini, kata Sarmadi, banyak media massa, baik cetak maupun digital, yang dikembangkan oleh pondok pesantren yang tidak berkembang, dan justru banyak yang tutup. Mereka tidak mampu tampil dan mempengaruhi cara pandang masyarakat dalam kehidupan berbangsa dan beragama.

“Sekarang banyak media yang dikembangkan oleh pesantren, baik itu website, youtube, Tik Tok maupun Instagram, yang sedikit sekali pembacanya. Hal ini karena isinya tidak sesuai dengan harapan para pembaca”, kata Sarmidi, yang juga Sekretaris Badan Wakaf Nasional.

Sejumlah nara sumber juga hadir meramaikan kegiatan ini, antara lain adalah Collin Nursatriawan dari Google Education Specialist Indonesia Team Lead. Kemudian Devie Rahmawati (Tim Literasi Digital Kominfo) dan Dedik Priyanto dari islami.co.

Kegiatan halaqah ini diikuti oleh 30 orang dari kalangan jurnalis dan perwakilan pesantren dari wilayah Jabodetabek.

Halaqah Strategi dan Pengembangan Media Digital Pesantren

Pilot Projek Media Digital Pesantren

Dalam halawah juga muncul harapan agar Perhimpunan Pengembangan Pesantren dan Masyarakat (P3M) membuat pilot project penguatan media digital di pesantren-pesantren yang mendirikan P3M ini.

P3M didirikan pada tanggal 18 Mei 1983 oleh sejumlah kyai pengasuh pesantren terkemuka di Indonesia dan beberapa aktivis LSM tahun 1980-an, sebagai wadah aktualisasi tanggung jawab para ulama atau kyai terhadap kehidupan masyarakat dan bangsanya.

Dari unsur pesantren di antaranya adalah KH.Sahal Mahfudz (Kajen), KH. M. Ilyas Ruhiyat (Cipasung), KH. Wahid Zaini (Paiton), KH. Yusuf Hasyim (Tebuireng) dan KH. Hamam Dja’far (Pabelan). Sementara itu dari unsur LSM adalah KH.Abdurrahman Wahid, Dawam Rahardjo dan Soetjipto Wirosardjono.

Sejarah berdirinya P3M dimulai sejak ada program pengembangan masyarakat oleh pesantren yang dilakukan oleh lembaga-lembaga swadaya masyarakat (LSM) yang mendahuluinya. LSM-LSM tersebut seperti LP3ES, Bina Desa, Bina Swadaya, kemudian juga LSP (Lembaga Studi Pengembangan).

Lembaga-lembaga LSM awal tahun 70-an itu memang banyak menggunakan pesantren sebagai pintu masuk dalam program pengembangan masyarakat ini. Para kyai yang ikut program dalam pengembangan masyarakat melalui pesantren ini melihat bahwa perlu ada sebuah Lembaga yang dimotori oleh kyai-kyai untuk menfasilitasi program community development (CD) melalui pesantren ini.

Pesantren sebagai tempat untuk program pengembangan masyarakat dimulai ketika Dawam Rahardjo memimpin pelaksanaan proyek pengembangan masyarakat melalui pesantren di LP3ES pada tahun 1970-an. Dengan mempertimbangkan akses muslim tradisionalis ke dunia pesantren.

Sejak tahun 1980-an tercatat sejumlah pesantren yang menjadi sasaran proyek LP3ES, di antaranya adalah pesantren Al-Nuqoyah di Galuk-Galuk Madura, pimpinan KH. Abdul Basith dan pesantren Maslakhul Huda di Kajen, Jawa Tengah, pimpinan KH. Sahal Mahfudz, Pesantren Tebuireng di Jawa Timur, Pesantren Cipasung di Jawa Barat, dan Pesantren Pabelan di Jawa Tengah.