Mengapa Islam Lenyap dari Andalusia – Ini Kata Sarjana Yahudi

Proses pemusnahan kerajaan Islam Spanyol ternyata dibantu oleh penguasa muslim sendiri. Setelah menjadi kripto-muslim, akhirnya umat Islam lenyap dari Spanyol.

Orang-orang Castile memasuki Granada, benteng terakhir kekuasaan Islam di Spanyol, pada 2 Januari 1492. Dan salib pun menggantikan bulan sabit di menara-menara kota itu. Ini menyusul berakhirnya genjatan senjata selama dua bulan antara pasukan muslim dan pasukan Raja Ferdinand telah berakhir, dan tidak adanya tanda-tanda bakal ada serangan dari Turki dan Afrika yang membantu pasukan muslim yang sudah menyerah itu.

Sultan Abu Abdullah, penguasa Granada yang semula mendukung Raja Ferdinand dari Aragon dalam menghadapi para penguasa muslim Spanyol yang telah terpecah-pecah, meninggalkan istananya, menuju tempat tinggalnya yang baru di sebuah bidang tanah di Al-Basyarat. Konon, ketika beranjak pergi ia sempat menoleh sejenak, dan memandang untuk terakhir kalinya ke arah istananya yang megah. Ia menarik nafas dalam-dalam, dan akhirnya meledak dalam tangis. “Kamu menangis layaknya perempuan atas segala yang tidak bisa kamu pertahankan sebagai laki-laki,” kata ibunya.

Dataran tinggi berbatu tempat Abu Abdullah melayangkan pandangan perpisahannya itu sekarang dikenal dengan nama “El Ultimo Suspiro del Moro, alias desahan terakhir Sang Moro. Abu Abdullah yang dulu dimanfaatkan Raja Ferdinand dan Ratu Isabella (Castile) untuk membantu proses pemusnahan kerajaan Islam di Spanyol itu, akhirnya mengasingkan diri ke Fez, Afrika Utara, dan bersama keluarganya hidup dari derma.

Semula kaum muslim akan dijamin keamanan secara pribadi di bawah hukum penguasa yang baru, dan diberi kebebasan menjalankan agamanya. Akan tetapi raja tertinggi mereka, Ferdinand dan Isabella, melanggar syarat-syarat perlindungan yang telah mereka tetapkan sendiri. Atas restu sang Ratu, di bawah kepemimpinan Kardinal Ximenesz de Cianeros, dimulailah upaya kampanye besar-besaran pemaksaan pemindahan agama. Mula-mula dia menarik buku-buku tentang Islam dengan cara membakarnya. Inkuisi ini kemudian dilembagakan, dan kaum muslim yang tetap tinggal di Spanyol (yang ingin mempertahankan dirinya sebagai muslim dipersilakan pergi) kemudian disebut Moriscos. Nama ini semula diterapkan kepada orang Spanyol yang memeluk Islam. Orang Spanyol muslim ini biasa menggunakan bahasa Romawi tetapi menulis dengan aksara Arab. Di bawah penguasa Kristen yang baru, mereka “diingatkan” kembali bahwa leluhur mereka adalah Kristen. Mereka harus tunduk keada baptisme, jika tidak mereka akan menanggung akibat yang buruk.

Akibatnya banyak di antara kaum muslim yang menjadi kripto-muslim, yakni orang yang mengaku Kristen tetapi diam-diam menjalankan Islam. Pada 1509 dikeluarkan dekrit bahwa semua muslim di Castile dan Leon harus memeluk agama Kristen. Jika menolak, mereka harus meninggalkan Spanyol. Pada mulanya dekrit ini tidak diterapkan secara keras, karena pengusiran paksa benar-benar baru dilaksanakan pada tahun 1609. Deportasi besar-besaran secara paksa ini telah menyebabkan setengah juta kaum muslim mendarat di pantai-pantai Afrika, atau berpulang ke negeri-negeri muslim yang jauh.

Lane Pool dalam bukunya Moors in Spain yang dikuti sejarawan Philip K. Hitti, menulis: “Orang-orang Moor dibuang; untuk sementara, Spanyol Kristen bersinar, seperti bulan, dengan cahaya pinjaman; lantas muncullah gerhana, dan dalam kegelapan itu Spanyol tenggelam untuk selama-lamanya.” Kata Hitti, Spanyol memang menjadi sebuah kekecualian yang mencolok dari fenomena lazim bahwa di mana pun peradaban Arab tertanam, maka di situ peradaban itu akan terus hidup.

Seperti dikemukakan Max Issac Dimont, yang dikutip oleh Nurcholish Madjid (1992), terdapat perbedaan mencolok antara para khalifah muslim dan raja-raja Spanyol. Dulu penaklukan Spanyol oleh orang-orang muslim telah mengakhiri pengkristenan secara paksa orang-orang Yahudi yang sudah dimulai oleh Raja Richard pada abad ke-6. Tetapi setelah Islam berhasil menguasai Spanyol dalam 500 tahun, kata sarjana Yahudi ini, lahirlah Spanyol yang mengenal tiga agama yaitu Islam, Kristen, Yahudi. Ketiga agama ini berada dalam istilah Dimont berada dalam satu “tempat tidur”, tanpa harus mengakibatkan penyatuan agama namun memiliki hubungan percampuran darah yang kental. Setelah terjadi penaklukan kembali Spanyol oleh Kristen, mereka membunuh orang Islam, tanpa pilih-pilih. Prinsip pluralisme yang telah diterapkan oleh para khalifah Andalusia (Spanyol) pun dikubur oleh kekejaman penguasa Spanyol yang merebut kembali Semenanjung Iberia itu.

Tidak heran jika di negeri Matador itu Islam seperti tidak berbekas. Ini berbeda dengan negara-negara muslim di kawasan Timur Tengah, tempat di mana kelompok-kelompok non-muslim masih tetap mempertahankan keberadaannya sampai sekarang. Ini tidak lain karena kaum muslim masih memelihara prinsip kemajemukan dalam kehidupan sosial mereka, sebagaimana yang telah diletakkan Nabi Muhammad SAW dalam Piagam Madinah, yang kemudian diteruskan Sayidina Umar dalam Dokumen Aelia untuk Yerusalem dan Syria pada umumnya, dan kemudian diterapkan dengan baik oleh para khalifah selanjutnya. Juga di Nusantara oleh para sultan terdahulu dan para pemimpin Republik ini.

***Sumber: Philip K. Hitti, History of The Arabs (2006); Nurchlish Madjid, Islam, Doktrin dan Peradaban (1992).