Wali Songo (6): Putri Campa dan Wali Tanah Jawa
Putri Campa cemburu berat ketika suaminya, Prabu Brawijaya V, jatuh cinta dan memperistri seorang putri dari Tiongkok. Ini yang membuat Putri Campa, istri tuanya, cemburu berat ketika amoy itu dijadikan istri. Padahal raja Majapahit itu, seperti galibnya raja Jawa, juga punya banyak istri. Diduga, istri tua Sang Prabu cemburu lantaran madunya itu amat mirip dengannya karena sama-sama bermata sipit dan berkulit kuning. Nah, lantaran menolak diduakan, ia pun mengancam minta dipulangkan ke negerinya, jika Brawijaya tetap mempertahankan istri barunya itu. Akhirnya sang Putri diserahkan kepada Arya Damar, dan boleh diperistri, asal jangan digauli dulu karena dia sedang hamil. Arya Damar pulang ke Palembang, dan di bumi Sriwijaya itu Putri Cina melahirkan Cek Ko Po alias Raden Patah, yang kelak menjadi pendiri Kerajaan Islam Demak. Beranjak dewasa Raden Patah kemudian pergi ke Tanah Jawa dan nyantri ke Sunan Ampel Denta, yang dikenal sebagai sesepuh para wali di Jawa.
Yang menarik, wali senior yang punya nama asli Raden Rahmat itu punya asal-usul Campa juga. Ayahnya seorang da’i berasal dari Arab, Ibrahim Al-Ghazi, sedangkan ibunya dikenal sebagai Putri Campa. Dan Rahmat adalah kelahiran Campa. Pada tahun 1420 ia, bersama ayah dan saudaranya, Ali Murtadha, mendarat di Tuban, Jawa Timur. Mereka datang untuk mengembangkan Islam di Tanah Jawa yang telah dirintis oleh Syekh Maulana Malik Ibrahim, sepupu Rahmat. Juga untuk urusan keluarga, yaitu menengok bibinya di Majapahit, yang tak lain adalah Putri Campa yang ngambek tadi.
Kisah Putri Campa, dengan berbagai versinya, bisa kita baca dalam beberapa naskah sastra Jawa, antara lain Serat Kanda. Dan yang menarik, legenda Putri Campa selalu dikaitkan dengan tema pengislaman Pulau Jawa.
Menurut Sejarawan Denys Lombard, Raden Rahmat tidak mungkin hanya seorang tokoh mitos. Dia cikal-bakal kaum muslim di daerah Ampel yang tetap dianggap sebagai salah satu kaum yang paling saleh di Kota Surabaya. Makamnya sendiri yang sayang tidak bertulisan, masih menjadi tempat ziarah yang ramai. Raden Rahmat kemudian memperistri seorang anak dari Adipati Tuban dan kemudian kedua anaknya, Sunan Drajat dan Sunan Bonang, melanjutkan pengislaman pesisir timur Pulau Jawa. Tapi muridnya yang paling hebat adalah Raden Paku. Ia putra Wali Lanang, seorang keturunan Arab yang menikah dengan Putri Blambangan yang berhasil disembuhkannya dari penyakit yang tidak tersembuhkan. Dialah yang kelak menjadi Sunan Giri, si bekas bayi ajaib: begitu lahir dimasukkan kakeknya yang marah ke dalam peti dan hanyutkan sehingga terdampar di Gre.
Ketika Kerajaan Campa dicaplok orang Vietnam pada tahun 1471, atau setengah abad setelah kedatangan Raden Rahmat di Jawa, terjadi sebuah gelombang pengungsian. Peristiwa ini, menurut Lombard, tidak bisa dibandingkan dengan peristiwa yang baru-baru ini terjadi (gelombang manusia perahu; pen). Pencaplokan, serta pengungsian yang menyusulnya itu dikenang di Nusantara dalam sedikitnya dua naskah: Hikayat Hasanuddin yang menceritakan masa awal agama Islam di Jawa, dan Sejarah Melayu yang mengisahkan serangan oleh “Raja Koci”, gugurnya raja Cam Pau Kubah dan larinya dua orang anaknya—-Pau Ling yang berlindung di Aceh dan Indra Berma yang lari ke Malaka di Istana Sultan Mansur (1458-1477).
Yang menarik, para pengungsi itu berlangsung mencari perlindungan ke daerah yang mereka ketahui sebagai daerah beragama Islam kuat, yaitu pelabuhan Jawa Timur yang telah dikunjungi Raden Rahmat 50 tahun silam, pelabuhan-pelabuhan Sumatera Utara yang diislamkan sejak abad ke-14, dan tentu saja Malaka yang telah jadi kesultanan beberapa tahun sebelumnya. Pada abad ke-17, hampir seluruh wilayah kerajaan Islam Campa praktis dikuasai oleh orang-orang Vietnam (Doi Viet). Hanya Pandurangga saja yang relatif “merdeka”, namun pada abad ke-18 rajanya diturunkan. Ketika Raja Minh Mong memerintah, banyak orang Campa yang dibunuh atau dipaksa “divietnamkan”. Akibatnya, orang-orang Campa dan para pemimpin mereka melarikan diri ke selatan, ke wilayah yang sekarang dikenal sebagai Kampong Cam di Kamboja, dan di sepanjang Sungai Mekong (wilayah Vietnam sekarang), yang membentuk 13 kampong.
Sejak saat itu bangsa Cam seolah-olah bercabang dua. Kebanyakan penduduk tetap di negerinya sendiri. Meskipun ada pengasingan dan tindakan asimilasi, mereka berusaha mempertahankan kepribadiannya kalau bukan kemerdekaannya. Di pihak lain para pengungsi yang boleh kita sebut “orang-orang Cam seberang” menyebar ke berbagai tempat di Asia Tenggara, dan akan terus-menerus mempunyai peranan penting dan latar belakang yang selalu Islam. Juga di Tanah Jawa. Konon Hadratus Syekh Hasyim Asy’ari, engkongnya Gus Dur, punya darah Campa juga.
Sumber: Denys Lombard, Nusa Jawa Silang Budaya 2