Mengenang Cendekiawan Garda Depan Buya Syafii Maarif

Buya Syafii Maarif

Sosoknya cukup dikenal Indonesia, wabil khususi warga Muhammadiyah. Dalam sebuah group whatshapp sempat diunggah artikel obituari Ahmad Syafii Ma’arif, salah satunya ditulis aktivis alumni HMI yang “spesialis” menulis obituari sejumlah tokoh nasional. Hamid Basya’ib memulai kolom obituarinya dengan menceritakan kenangan lamanya, ketika Buya Syafii Maarif masih menaiki sepeda motor Honda, saat itu masih mengajar di Universitas Islam Indonesia (UII) di jalan Cik Di Tiro, Yogyakarta.

Sang Guru Bangsa Buya Prof. Dr. Ahmad Syafii Maarif telah berpulang pada 27 Mei lalu, empat hari sebelum ulang tahunnya yang ke-87. “Muhammadiyah dan bangsa Indonesia.    Semoga beliau husnui khatimah, diampuni kesalahannya, dilapangkan di kuburnya, dan ditempatkan di jannatun na’im. Mohon dimaafkan kesalahan beliau dan doa dari semuanya,” demikian pesan Ketua Umum PP Muhammadiyah Haedar Nashir, yang disampaikan melalui media sosial, beberapa saat setelah kepergian Buya.

Ahmad Syafii Maarif lahir di Minangkabau pada 31 Mei 1935. Ia bersaudara dengan 15 orang yang seayah namun tidak seibu. Sewaktu ia berusia satu setengah tahun, ibunya meninggal hingga ia kemudian dititipkan oleh ayahnya ke rumah bibinya yang bernama Bainah. Tahun 1942, ia dimasukkan ke Sekolah Rakyat di Sumpur Kudus dan kemudian ia melanjutkan ke Madrasah Muallimin di Balai Tengah, Lintau. Saat ia berusia 18 tahun, ia memutuskan untuk merantau ke Jawa, tepatnya ke Yogyakarta. Di sana ia ingin meneruskan sekolahnya ke Madrasah Mualimin di kota itu. Namun keinginan tersebut tidak terwujud dengan alasan bahwa kelas sudah penuh. Malahan ia direkrut menjadi guru pengajar di sekolah itu.

Keterlibatan Ahmad dengan organisasi Muhammadiyah kemudian berlanjut dengan diangkatnya ia menjadi guru di salah satu sekolah milik Muhammadiyah atas permintaan Muhammadiyah. Selanjutnya bekas aktivis Himpunan Mahasiswa Islam ini menekuni ilmu sejarah dengan mengikuti program master di Departemen Sejarah Universitas Ohio, AS. Sementara gelar doktornya diperoleh dari Program Studi Bahasa dan Peradaban Timur Dekat, Univesitas Chicago, AS dengan disertasinya yang berjudul Islam as the Basis of State: A Study of The Islamic Political Idead as Reflected in the Constituent Assembli Debates in Indonesia.

Setelah meninggalkan posisinya sebagai Ketua Umum PP Muhammadiyah, beliau ia aktif di Maarif Institute yang juga didirikannya. Di samping itu, guru besar IKIP Yogyakarta ini juga rajin menulis. Sebagian besar karyanya adalah mengangkat masalah – masalah Islam. Buku – bukunya antara lain Dinamika Islam dan islam, Mengapa Tidak? kemudian Islam dan Masalah Kenegaraan. Atas karya – karyanya itu, ia mendapatkan penghargaan Ramon Magsaysay dari pemerintah Filipina di tahun 2008.

Kenangan di UII

Kepergian Ahmad Syafii Maarif dinarasikan dalam bentuk obituari oleh Hamid Basyaib. Hamid mengisahkan, ketika itu kendaraan Syafii Maarif jenis Honda CB 125. Hamid menarasikan, “…Pak Syafii Maarif lalu dengan langkah cepat ia menuju kantor majalah Himmah yang kecil di ujung koridor. Ia datang untuk rapat perkenalan dengan pengelola majalah mahasiswa itu. Ia tanpa banyak tanya langsung menerima permohonan untuk menjadi penasihat di sana.” Kenangan —–Hamid Basyaib cukup personal mengungkapkan pertautan Hamid dengan Syafii Maarif, pada masa sepulang Ahmad Syafii Maarif dari Chicago.

Pada bagian lain obituari itu, diceritakan, Ahmad Syafii Maarif pulang ke Yogya dari Chicago pada akhir 1983 dengan battle cry “umat Islam seribu tahun berhenti berpikir!” Begitu judul wawancara yang dimuat pada majalah Prisma, hal yang kerap diulanginya pada kesempatan. Simptom itu ia rujukkan pada Abu Hamid Al Ghazali, terutama pada karya monumentalnya, Ihya Ulumuddin.

Sudah jamak dianggap oleh kalangan pembaru Islam bahwa kemacetan berpikir di kalangan umat Islam adalah gara-gara terbitnya karya Ghazali itu, yang menekankan purifikasi mental individual. Kalangan Syiah biasanya menyanggah anggapan “kemacetan berpikir” ini dengan menyatakan bahwa itu hanya terjadi di wilayah Sunni. Sedangkan di kalangan penganut Syiah, pemikiran tetap subur; para ulama Syiah biasanya juga merangkap filosof — status yang dianggap identik dengan ketekunan berpikir.

Pengaruh Ghazali sedemikian besar, sampai seorang orientalis Inggris, Montgomery Watt, memastikan bahwa sufi Persia itu adalah orang kedua terpenting dalam Islam setelah Nabi Muhammad dalam mempengaruhi pikiran umat Islam.

Fragmen tentang Syafii Maarif dalam kenangan Hamid Basya’ib, kembali pada momen ketika pertama kali akan merapatkan tentang kehadiran Syafii Maarif untuk pelibatannya dalam majalah Himmah (UII Yogya). Hamid meneruskan kenangannya. “Semua peserta rapat sudah siap, dan Pak Syafii berkata: “Sebelum rapat dimulai, saya ingin tahu yang mana yang namanya Hamid Basyaib.” Orang-orang tersenyum. Beberapa menyahut, “Itu yang persis di sebelah Bapak.” Sjafii Maarif kontan menoleh ke sebelah kanannya, memandangi Hamid dengan tajam beberapa saat, sebelum ia berkata, “Oh, Anda rupanya!” Hamid mengenang, ketika itu Syafii Maarif tidak menyebut “kamu”.

Hamid pun meneruskan bahwa Syafii Maarif berkata lagi,”Tulisan Anda itu tidak benar! Fazlur Rahman tidak seperti yang Anda gambarkan. Dia adalah sarjana Muslim yang sangat bertanggung jawab terhadap Islam. Maryam Jameelah itu bukan tandingannya!” Setelah diam sejenak, “Tapi bahasa Indonesia Anda cantik! Bagus.”

Selanjutnya, Syafii Maarif pada kesempatan itu merujuk artikel tiga halaman berjudul “Fazlur Rahman” yang ditulis Hamid Basya’ib (ketika itu edisi terbaru majalah Himmah). Hamid meneruskan,”Saya hanya tersenyum mendengar pembelaan Pak Syafii terhadap gurunya di Universitas Chicago itu; tidak berani menyanggah karena modal saya pas-pasan, hanya berdasarkan buku kecil Maryam Jameelah (Margaret Marcus), eks penganut Yahudi yang antara lain menyebut Fazlur Rahman adalah musuh Islam dari dalam dan karenanya lebih berbahaya daripada musuh yang terbuka.”

Lagi pula Syafii Maarif belajar bertahun-tahun dari pakar Islam Pakistan yang hebat itu, maka tentu ia lebih mengenalnya. Dua tahun kemudian, Agustus 1985, Hamid Basya’ib sempat menemui Fazlur Rahman, tapi dalam status sebagai pengagum beratnya, saat Fazul Rahman dan isterinya hadir di diskusi di kampus IAIN Sunan Kalijaga dengan yang dimoderatori Prof. Mukti Ali.

Intelektual Bersahaja

Kembali ke Jogja malam hari, Pak Syafii mengembalikan boncengannya ke tempat semula, kampus UII. Sebelum berpisah, ia memaksa Hamid Basya’ib menerima separuh honor yang didapatnya dari forum Pabelan. Hamid menolak, tapi Syafii Maarif melesakkan uang itu ke kantong baju Hamid. “Itu jumlah yang cukup besar untuk seorang mahasiswa miskin,” tulis Hamid.

Padahal di forum itu Hamid mengaku ia cuma melongo melihat orang-orang pintar bertukar pendapat — yang ia sudah lupa apa isinya — dan tidak ada seorang pun yang mempedulikan kehadirannya, dan sewajarnya mereka bersikap begitu. Hanya Hamid sendiri yang peduli terhadap tindak-tanduk setiap peserta.

Kesibukan masing-masing membuat kami tidak bisa berjumpa sesering dulu. Tapi suatu siang Pak Syafii menjemput saya dan mengajak melihat rumah yang sedang dibangunnya di kompleks baru Nogotirto, di Godean. Kami pun melihat-lihat, menerobos barisan kayu yang malang melintang, dan ia menerangkan calon ruang yang ada satu per satu.

“Lumayan besar rumahnya, Pak,” kata Hamid tentang bangunan sekitar 120 m2 itu. “Ya, ini sebetulnya terlalu besar,” sahut Syafii Maarif. Syafii Maarif melanjutkan,”Ini hanya untuk anak dan isteri saya. Kalau saya sendirian, saya cukup indekos di satu kamar saja.”

Mulai Dikenal’

Syafii Maarif —sebelumnya tidak dikenal sebagai aktivis pembaru Islam. Mungkin karena beliau berasal dari Universitas Cokroaminoto Yogya yang kurang ternama — dengan caranya sendiri ikut dalam barisan pembongkar kebekuan Ghazalian. “Ia adalah bagian dari barisan sarjana baru Muslim lulusan universitas Barat, bersama dengan Saifullah Mahyudin, Sahirul Alim, Amien Rais, Kuntowijoyo, Yahya Muhaimin, Ichlasul Amal, Mochtar Mas’oed dan beberapa lainnya,” tulis Hamid Basyaib.

Suatu sore Hamid Basyaib mengunjungi Ahmad Syafii Maarif di kampus IKIP tempat ia mengajar. Itu yang mengusulkan Lafran Pane, sehingga Syafii Maarif pun menjadi Pengawai Negeri Sipil/PNS (kini Aparatur Sipil Negara/ASN). Kabarnya ada ruang baru untuk dosen. Maka saya datang untuk melihat keadaannya. Ternyata yang dimaksud “ruang dosen” itu berupa kamar-kamar 2,5 x 2,5 meter persegi (mungkin juga lebih kecil) yang berbaris seperti WC umum. Saya lihat Pak Syafii seperti terhimpit di antara timbunan buku di meja dan barisan bukunya di rak seadanya.

“Beginilah nasib dosen negeri, kalau Anda mau tahu,” katanya. “Doktor lulusan Amerika pun hanya mendapat ruang kerja begini saja.”

Saya berbasa-basi menghiburnya, meski saya sebetulnya kaget melihat kondisi yang tidak layak itu. Memang mudah disimpulkan bahwa perguruan tinggi kita umumnya tidak memuliakan ilmu meski hal itu adalah urusan utamanya. Spirit itu terlihat dari kondisi ruang dosen yang disediakan.

Universitas kita jauh lebih mementingkan aspek-aspek birokrasi pendidikan dan kepangkatan. Ruang dekan jauh lebih baik daripada ruang dosen. Gedung rektorat pasti merupakan gedung yang paling mentereng di seantero kampus — ruang laboratorium harus dipastikan berada di pojok yang sangat sulit ditemukan. Kini, 40 tahun sejak saya mengunjungi Pak Syafii Maarif di ruang kerjanya yang mini, saya tidak melihat perubahan berarti dalam piramida sosial di kampus-kampus kita.

Berbeda dari mereka semua, Syafii satu-satunya yang menekuni studi Islam, bukan di Al Azhar seperti ribuan santri sebelumnya, tapi di Universitas Chicago, Amerika Serikat — meski “belajar Islam ke Barat” sudah dimulai oleh satu-dua orang dari generasi sebelumnya seperti H.M Rasjidi (Prancis dan Kanada) dan Harun Nasution (Kanada).

Beberapa bulan sesudah kepulangan Syafii, kembali pula Nurcholish Madjid, juga dari Chicago, dan sama-sama dibimbing oleh Fazlur Rahman. Suatu kali Cak Nur diundang berdiskusi di kampus UII bersama Fachry Ali, dengan moderator Habib Chirzin. Acara itu benar-benar menyegarkan. Dan malam harinya diadakan diskusi terbatas di sebuah hotel — semua orang ingin memanfaatkan optimal kehadiran Cak Nur.

Hamid Basyaib menjadi saksi, betapa Syafii Maarif memberik kans untuknya.”Tapi Pak Syafii mengajak saya, dan dengan itu kursi saya terjamin tersedia di acara itu. Sedikit pun tidak ada materi diskusi itu yang saya ingat. Saya hanya terpesona oleh kecemerlangan Cak Nur yang, menurut Kiai Hamam Dja’far yang pernah sekamar dengan Cak Nur di Pondok Gontor, ‘ayat Quran dan hadis selalu ada di ujung lidahnya’, sehingga sangat mudah bagi Cak Nur untuk mengeluarkannya setiap ia memerlukannya,” tulis Hamid Basya’ib.

Hamid sempat berbincang sejenak dengan Syafiia Maarif saat berjalan keluar dari hotel. Pak Syafii bertanya,

“Bagaimana pendapat Anda tentang diskusi tadi?”

“Saya jadi malas belajar, Pak,” jawab saya sekenanya.

“Lho, kenapa?”

“Sekeras apapun saya belajar, saya tidak akan bisa sepintar Nurcholish Madjid… Orang itu hebat sekali!”

Pak Syafii menyergah, “Tidak benar sikap Anda! Keliru! Anda pasti mampu…”

Ia bilang ia berangkat ke Amerika untuk mengambil studi S2 pada usia 42 tahun, dan dalam keadaan tidak mengerti apa-apa. “Anda baru 21 tahun sudah jauh lebih mengerti dibanding saya ketika berumur 42. Anda harus doktor di bawah 30 tahun!”

Ketika Fazlur Rahman ke Jakarta pada 1985, ia mengatakan ia punya dua murid kesayangan di sini. “Nurcholish Madjid adalah mujaddid (pembaru), dan Syafii Maarif adalah mujahid (pejuang),” kata profesor Islamic Studies itu, sebagaimana dinarasikan Hamid Basyaib.

Menjejakkan Kritik

Syafii Maarif, disamping penilaian beliau sebagai intelektual garda depan Indonesia, juga tak sepi dari kritik. Cendekiawan muslim Adian Husaini mengkategorikan Ahmad Syafii Maarif sebagai tokoh Muhammadiyah pendukung gagasan Islam Liberal (neomodernisme) yang diusung oleh Fazlur Rahman. Adian mencatat bahwa Syafii memuji setinggi-tingginya Fazlur Rahman yang merupakan dosennya. Ia juga mencatat penyataan Syafii pada 2001 yang menolak kembalinya Piagam Jakarta ke dalam konstitusi. Zuly Qadir mencatat Ahmad Syafii  Maarif (dan Hasyim Muzadi) menolak pemberlakuan syariat Islam secara formal di Indonesia.

Syafii ditulis oleh Budi Handrianto sebagai kelompok senior dalam buku berjudul 50 Tokoh Islam Liberal Indonesia: Pengusung Ide Sekulerisasi, Pluralisme, dan Liberalisasi Agama. Budi Munawar Rachman mengelompokkan Syafii termasuk ke dalam golongan neo-modernis Islam bersama Nurcholish Madjid dan tokoh-tokoh lainya.

Muhamad Afif Bahaf menuliskan bahwa gerakan Islam Liberal tumbuh subur di Muhammadiyah semasa dipimpin Syafii. Hal ini ditandai dengan berdirinya tiga komunitas intelektual yaitu Pusat Studi Agama dan Peradaban (PSAP), Maarif Institute, dan Jaringan Intelektual Muda Muhammadiyah (JIMM). Kritik lainnya, Ahmad Syafii Maarif juga pada November 2016, telah membela Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok dengan mengatakan bahwa Ahok tidak melakukan penistaan agama. Pandangannya ini melawan pendapat mayoritas tokoh Islam lainnya termasuk Majelis Ulama Indonesia (MUI) yang telah memfatwakan bahwa Ahok melakukan penistaan agama islam dan para ulama.

Syafii Maarif, menurut ilmuwan Yudi Latif,” Kejujuran dan kelugasan Buya (Syafii Maarif) untuk mengartikulasikan pendiriannya, meski harus berhadapan dengan arus sentimen kerumunan dan kemapanan dan segala kenyinyiran dan pembuliannya jadi momen menentukan bagi sebagai cendekiawan garda depan,” tulis Yudi Latif.

Pada bagian lain, Yudi Latif juga mengemukakan,”Dan kekuatan artikulasinya terasa lebih otentik karena kesederhanaan dan integritas hidupnya. Kematiannya sungguh merupakan kehilangan bagi bangsa dan umat, sekaligus memberi bekal kehidupan yang besar bagi yang ditinggalkan. Semoga daun yang jatuh memberi pupuk bagi kelahiran tunas-tunas pelanjut sehingga kita bisa melepaskannya dengan legawa.”

Jejak Karya Intelektual Buya

Mantan ketua umum PP Muhammadiyah, Buya Ahmad Syafii Maarif, telah berpulang di RS PKU Muhammadiyah Gamping, Sleman, Yogyakarta pada 10.15 WIB, Jum’at (22 Mei 2022). Kabar duka itu disampaikan Ketua Umum PP Muhammadiyah, Haedar Nashir. “Muhammadiyah dan bangsa Indonesia berduka. Telah wafat Buya Prof Dr H Ahmad Syafii Maarif pukul 10.15 WIB di RS PKU Muhammadiyah Gamping,” kata Haedar Nashir.

Haedar mendoakan almarhum husnul khatimah, diterima amal ibadahnya, diampuni kesalahannya, dilapangkan kuburnya dan ditempatkan di jannatun na’im. Beliau berpulang dalam usia 87 tahun, sebagai seorang ulama dan cendekiawan Indonesia yang produktif menulis dan kerap menjadi pembicara dalam sejumlah seminar. Sejumlah buku, menurut Suara Muhammadiyah termasuk lima karya beliau yang fenomenal, antara lain:

Pertama, Membumikan Islam (Divapers, 2019), tentang pemikiran Buya Syafii Maarif serta yang begitu kuat dan komprehensif tentang pentingnya mengembangkan keislaman di tanah air dalam bingkai keindonesiaan dan kemanusiaan; Kedua, Politik Identitas dan Masa Depan Pluralisme Kita (Yayasan Wakaf Paramadina, 2010).  Dalam buku inji, Buya Syafii Maarif secara terbuka menelanjangi ancaman kekerasan oleh kelompok Islam tertentu di Indonesia, yang disebutnya sebagai kelompok “Preman Berjubah”, serta masalah burning issues yang ada kaitannya dengan masalah politik identitas sejak 11 tahun terakhir dengan kemunculan gerakan-gerakan radikal atau setengah radikal yang berbaju Islam. Ketiga, Mencari Autentisitas dalam Kegalauan (Pusat Studi Agama dan Peradaban, 2004). Ini refleksi dari Syafii Maarif yang secara serius memikirkan nasib bangsanya, berbagai kegelisahannya dari sisi seorang pendidik di Indonesia. Dalam buku ini beliau mengajak untuk kembalio memikirkan bagaimana nasib pendidikan di bangsa ini. Keempat, Islam: Kekuatan Doktrin dan Kegamangan Umat (Pustaka Pelajar, 1997).  Buku yang mengetengahkan argument Buya Syafii Maarif terhadap Islam sebagai doktrin yang mampu bergumjul dengan perubahan ruang dan waktu, tapi pada saat yang sama dirasakan pula kritiknya terhadap pemeluk yanvg belum siap untuk itu. LKebelum-siapan ini bertautan rapat dengan perjalanan sejarah panjang yang menampilkan wajah Islam yang kita kenal sekarang ini. Kelima, Ibn Khaldun dalam Pandangan Penulis Barat dan Timur (1996). Ini merupakan karya Buya Syafii Maarif yang memuat dimensi modern dalam ilmu-ilmu sosial tentang penelitian kajian kritis terhadap katya-karya kontemporer para sarjana tentang Ibn Khaldun selama jangka waktu kurang lebih 60 tahun terakhir. Salah satunya, yaitu kontroversi tentang pesimisme Ibn Khaldun dalam membaca perjalanan sejarah dan peradaban.

Episode Buya sebagai Jurnalis

Ada fase Buya Syafii Maarif menjadi jurnalis. Hal itu disampaikannya pada sebuah acara yang diinisiasi Suara Muhammadiyah. Pada kesempatan itu, Syafii Maarif menjelaskan kepada forum,”Saya bergabung di Suara Muhammadiyah saat itu, berkarier sebagai korektor pada 1965-1972. Kemudian diangkat sebagai staf redaksi hingga 1982.” Buya kemudian diamanahi menjadi pemimpin redaksi tahun 1988-1990. Puncaknya, Buya dipercaya sebagai pemimpin umum media tersebut.

Sebagai jurnalis, Buya menggunakan nama pena Salman Lumpur. “Nama Salman Lumpur dari almarhum anak saya,” jelas Syafii Maarif. Salman merupakan putra sulung Buya yang meninggal akibat penyakit cacar saat usianya masih 20 bulan.

Saat masuk ke Suara Muhammadiyah, Buya menuturkan kondisinya kala itu  kacau balau. Ia alamiah saja Buya menjadi jurnalis demi menyambung hidup sebagai anak kampung yang baru hijrah dari Padang ke Yogyakarta. Buya merasa dia awalnya hanya seorang pemuda yang amat minim literasi. Ditambah karena pendidikan dasar formalnya saat itu juga sempat tersendat-sendat baik di pendidikan dasar dan menengah karena faktor kesulitan ekonomi.di usia 47 tahun,” papar Syafii yang lulus dari Chicago University tahun 1978 itu.

Sejak bergabung di Suara Muhammadiyah, Buya makin terdorong memperkuat wawasan dan literasinyamelalui Suara Muhammadiyah. Tokoh panutan Buya kala menjadi jurnalis, Bastari Asnin, satrawan yang terkenal dengan karya Di tengah Padang. Karya Asnin ini meraih hadiah majalah sastra tahun 1961. Buya juga belajar menulis dan menjalani profesi jurnalis langsung dari seniornya di Suara Muhammadiyah, sastrawan Muhammad Diponegoro.

Profesi Buya sebagai jurnalis, mengantarnya berinteraksi dan belajar dengan tokoh nasional seperti Roeslan Abdulgani dan AH Nasution. Dari para tokoh nasional itu saya belajar untuk berani bersikap dan jujur pada prinsip,” ujar Buya.

Di sela menyambung hidup dengan menjadi jurnalis, Buya tidak mau menyerah. Perlahan-lahan ia membenahi pendidikan formalnya dengan lanjut kuliah. “Enggak ada pikiran jadi jurnalis. Suasananya enggak karu-karuan saat itu, semua serba terlambat,” ujar pria yang pernah menempuh pendidikan di IKIP Yogyakarta dan Ohio State University itu.

Pemimpin perusahaan Media Suara Muhammadiyah Deni Asyari mengatakan pengalaman menjadi jurnalis amat berpengaruh membentuk Buya Syafii sekarang. “Buya tak hanya menjadi pemikir dan sejarawan, tapi juga negarawan,” kata Asyari. Tanpa Buya Syafii, ujar Asyari, tak mungkin Media Suara Muhammadiyah akan bertahan sampai menjadi salah satu media tertua seperti saat ini.

Syafii Maarif dan Korupsi

Suatu ketika, seperti pernah ditulis Buya Syafii Maarif, beliau pada 16 Maret 2015 pernah diminta Rektor ISI Padang Panjang, Prof DR Novisar Jamarun, untuk memberi kuliah umum di kampusnya tentang seni. Kata Syafii Maarif,” Bagaimana mungkin, sedangkan saya bukan seorang seniman atau sastrawan,” katanya dalam kolom di harian Republika. Kuliah itu diadakan di Gedung Pertunjukan Hoerijah Adam, sebuah gedung untuk mengabadikan nama koreografer Minang Hoerijah Adam (6 Oktober 1936-11 November 1971) yang legendaris.

Dia wafat dalam kecelakaan pesawat Merpati di  dalam usia 35 tahun. Dunia koreografi Indonesia menangisi kepergian seorang Hoerijah, yang telah mengisi hidupnya dengan karya seni pertunjukan yang luar biasa hebatnya.

Pada tulisannya, Syafii Maarif menyebutkan,” Saya menghayati ciptaan seni Hoerijah yang kaya dan menyentak. Selain itu saya hanyalah seorang peminat pasif atas karya-karya sastra dan seni. Itu pun belum tentu serius. Tetapi lupakan itu semua. Yang jelas, saya telah bicara di depan forum yang terhormat itu yang dipadati mahasiswa dan para dosen institut seni itu.”

Syafii membawa soal seni ke perbincangan politik. Karena ia sudah lama gusar menonton akrobatik panggung politik nasional dan daerah. Syafii menulis”Lalu saya teringat pada sebuah ungkapan: “Jika politik sudah menjadi liar tanpa kendali, maka seni harus turun gunung untuk menjinakkannya.” Bagi saya, kata Syafii Maarif, seni adalah upaya untuk meningkatkan kualitas kehidupan manusia agar dibimbing oleh keindahan yang nyaris tanpa batas itu.

Maka menjadilah tugas para seniman dan sastrawan untuk turut memikul tugas penting ini agar kaum politisi punya  kepekaan dan rasa tanggung jawab moral yang tinggi dan kuat dalam berkiprah untuk kepentingan rakyat banyak. Virus seni dan sastra yang disuntikkan ke dalam otak dan batin politisi diharapkan akan mampu mengurangi kasus OTT (operasi tangkap tangan) KPK atas politisi yang lagi ramai digunjingkan publik.

Tetapi ironisnya, OTT ini sedemikian jauh belum juga berhasil membuat jera politisi yang lain, baik laki-laki maupun perempuan. Di ranah perbuatan busuk ini hebatnya apa yang disebut dalam jargon ‘kesetaraan jender” telah menjadi kenyataan. Dunia perpoltikan kita sedang hiruk dengan kelakuan mereka.

Syafii mengkritisi perilaku tak beradab para koruptor. Kata Syafii Maarif,”Sekarang koruptor laki-laki dan koruptor perempuan sudah bisa bergandengan tangan dalam jeratan OTT. Inilah Indonesia, politisi yang telah jadi pasien KPK dari hari ke hari jumlahnya semakin banyak. Belum tampak tanda-tanda akan menyusut, sekalipun KPK terus saja menggebrak di tengah perlawanan sengit dari politisi busuk.” Begitu Syafii menyuarakan lantang kritiknya, lewat panggung kuliah umum di sebuah perguruan tinggi seni di Padang itu. Ia juga melontarkan ungkapan the power of beauty (keperkasaan keindahan) yang dapat membentuk jiwa dan karakter halus manusia yang membuahkan prilaku lurus, jujur, dan punya rasa malu yang dalam.

Para koruptor yang tidak menghargai keindahan tentu yang paling banyak menempuh jalan bengkok, culas, dan tidak punya rasa malu. Sifat malu adalah bagian dari kekuatan keindahan. Sifat malu ini semestinya ditanam dan ditumbuhkan sejak usia kanak-kanak pada saat jiwa manusia masih sangat peka dan bersih. Sifat ini biasanya akan bertahan sepanjang hayatnya.

Nasihat Allahyarham Ahmad Syafii Maarif patut direnungkan, “Sebagian yang lain tak bisa maksimal dalam mengembangkan karya seninya, dan ini yang membuat perasaan luluh, karena terhempas dalam himpitan kesulitan ekonomi. Namun, dengan segala kendala itu, seni dan sastra harus terus dipupuk dan dipelihara agar bangsa ini tidak kehilangan kepekaan nurani di tengah suasana politik yang tuna keindahan.”

Belajar dari Buya Syafii Maarif, yang merangsek bekerja sebagai jurnalis, menyelesaikan kuliahnya hingga master dan meraih doktoralnya bahkan menjadi pimpinan Muhammadiyah. Tak ada kata terlambat untuk tak henti dalam pengayaan literasi dan belajar. Tidak heran, seakan menebus masa sulitnya, Indonesia memahami bahwa beliau sempat belajar sastra dari peraih award sastra Bastari Asnin (1961), juga jurnalistik dari seniornya di Suara Muhammadiyah (yang juga memiliki sejumlah karya sastra, Muhammad Diponegoro (menurut catatan, hal ini terjadi semasa Buya Syafii Maarif menjadi korektor di Suara Muhammadiyah pada 1965-1972). Tidak heran, Buya meninggalkan sejumlah karya ilmiah, juga novel: Malala,  Oase di Bumi yang Tandus (Ombak, 2020). Selamat jalan Buya.