Sejarah Pergerakan: Api Revolusi dari Pulau Kecil di Timor
Di ujung perpecahan Perkumpukan Orang Timor (Timorsch Verbond), sekitar 1928, dalam sebuah rapat di atas perahu, di atas punggung laut Teluk Kalabahi, para pemuda kepulauan Alor yang sudah tergabung dalam organisasi itu mendebat apa signfikansi organisasi, yang diketuai J.W. Amalo itu bagi sebuah perjuangan membebaskan bangsa dari cengkraman kolonial Belanda (Valandja – sebutan mereka). Perdebatan yang juga berlangsung di banyak tempat, selain Alor, di pusat-pusat perjuangan di berbagai tempat di Timor, Flores, Rote, Sabu dan Sumba. Perpecahan di dalamnya sudah terendus sejak awal dan pada gilirannya kepengurusan pindah ke Surabaya jelang 1930.
Perkumpulkan Timorsche Verbond lahir di Makassar pada 1922 atas inisiatif D.S. Pella.Timorsche Verbond dipimpin J.W. Amalo yang terpilih pada kongres pertama pada tahun 1925 di Makassar.Timorsche Verbond bertujuan untuk memajukan derajat rohani dan jasmani para anggotanya, khususnya dari kaum Timor. Walaupun corak semula bersifat sosial, dalam perkembangannya organisasi ini banyak bergerak di bidang politik.
Banyak kepentingan di dalamnya yang sulit dipadukan, antara lain berlatarbelakang keturunan Eropa, fragmentasi sosial dan sekat-sekat keagamaan terlalu kental di dalamnya. Banyak rohaniwan, kalangan militer, para pegawai negeri, dan para pegawai raja-raja pribumi ikut menjadi variabel dalam pergerakan lawan Hindia-Belanda ini. Malah, ada kalangan yang menyebutnya dikotomi antek kolonial dan bumiputra, di satu sisi, sisi lainnya melawan status quo dwi kolnial : Belanda dan Portugis. Yang terakhir, setidaknya pada 1931 baru raib dari kepulauan sekitar Alor dan Solor.
Kalangan muda muslim yang berada dalam forum di atas perahu itu kehilangan kepercayaan pada perkumpulan tersebut. Salah satu kendala adalah issu politik keagamaan, karena ada beberapa kubu, yakni faksi Islam, Kristen dan Katolik.
Roh pesatuan pecah, para aktivis dari kalangan muslim ini memilih jalan lain. Jalan yang memperkuat perjuangan demi kemerdekaan dan harus berskala nasional. Mereka sudah dengar nama-nama seperti Tjokroaminoto, H. Agus Salim, Abdul Muis, Maridjan Kartosuwiryo, Semaun, Alimin, Muso dan Tan Malaka berkaitan dengan Sarekat Islam (Sl). Bahkan kabar tentang pembuangan dua tokoh SI dari Minangkabau ke Timor pun telah diketahui mereka.
Pucuk dicinta ulam pun tiba. Harapan kalangan muslim yang sebagian besar dari suku Dulolong Alor itu terwujud. Begitu juga yang dialami oleh Datuk Batuah, seorang pejuang SI dari kubu “Merah” di Minangkabau akan dipindahkan dari tempat pembuangannya di Kupang. Rekannya, Nazar Zaenuddin dibuang ke Kefamenanu, Timor; dia ditempatkan di Kalabahi, Alor bersama istri dan ibunya. Di sebuah tempat yang dia pun telah dengar ada beberapa kalangan muda muslim di sana sedang menggalang perjuangannya demi bangsa. Datuk Batuah berada di Kupang pada 1925 , dan sejak 1927 sampai 1931 dia bermukim di Alor. Di tempat barunya ini kembali Datuk Batuah menggalang perjuangan. Saat di Kupang, bersama Christian Pande, aktivis Timorsch Verbond berasal dari pulau Alor, Batuah mendirikan organisasi bernama Partai Serikat Timor. Tak lama kemudian, partai ini berganti nama menjadi Partai Serikat Rakyat yang tetap berhaluan sosialis-revolusioner.
Ilmu “Kumuniah”
Kalabahi adalah kota kecil yang baru dibuka tahun 1911, dari hutan kusambi oleh para pekerja “rodi” dari Pulau Atauro dan Ainaru Timor yang sudah menjadi bagian teritori Timor Portuguesa. Kusambi, yang dalam bahasa masyarakat pegunungan sekitar utara Teluk Alor disebut “arabah” mengalami transpronounce ke “kalabahi”. Pengganti Raja Alor yang baru dilantik pemerintah Hindia Belanda pada 1960, dan wafat beberapa bulan kemudian, Umar Watang Nampira membawa Putra Mahkota, Ahmad Bala Nampira yang terlampau muda, memindahkan pusat Kerajaan Alor dari Dulolong ke Kalabahi.
Datuk Batuah dirumahkan di sekitar kediaman Raja Nampira itu. Tepatnya di sebuah rumah di depan pelabuhan Kalabahi. Dia bertemu dengan beberapa eksponen Timorsche Verbond itu Bahkan dua di antaranya dijadikan murid dekat dia, dan sering menginap di tempat pengasingannya. Yaitu, Oetoeng Date (Untung Duarte) dan Ismail Djawa. Bukan hal kebetulan kalau Oetoeng gigih berjuang melawan kolonialisme karena ayahnya, Karim Ali (Karimalei) adalah legenda besar orang Timor dalam perang Manufahi (Dom Boaventura) yang wafat secara tragis pada tahun 1913 di kawasan kerajaan Kui, Alor, oleh sebuah aliansi taktis pasukan dwi kolonial itu.
Nazar Zainudin di So’e Kefamenanu yang mengetahui pergerakan Nae Saku (Raja Timor), nama lain Dom Aleixo, adik dari Amakae (Karim Ali bin Tarub) di Maubessi, Timor Portugis, segera berpesan kepada kompatriot itu agar memelopori penggemblengan semangat jihad dan menangambil sikap non-kooperatif terhadap kompeni dan aliansi cosqiuistador-nya itu. Ootoeng Duarte, putra kedua Karim Ali (Dom Boaventura) dan anak-anak dari kerabat Nae Saku melakukan gerakan senyap menghindar penjajah kolonial. Dan, satnya (1927), Datuk Batuah merasa perlu membangun jaringan pergerakan bersifat regional di Makassar. Batuah memilah Ootoeng Duarte sebagai pimpinan pergerakan bersama sahabat sekaligus kerabat di sekitar jazirah Teluk Alor.
Nama-nama yang cukup menonjol adalah Haji Dasing, Lenso Nae Kamahi, Gleko-Gleko dan Umar Bara, yang menarik lagi adalah tampil juga tokoh-tokoh perempuan seperti Sabu Kera, Bunga Nira, dan lain-lain. Ide agar para pemuda ini memperjuangkan kemerdekaan bangsa dan Tanah Air melalui sebuah wadah dengan saluran struktural yang berskala luas. Bagai pucuk dicinta ulam pun tiba, antusiasme dan girah perjuangan menyala kencang. Tapi bagi Datuk yang disapa mereka dengan “Angko Pada” (Angko Padang) meminta mereka mengikuti penggemblengan ideologis terlebih dahulu beserta dasar-dasarnya dalam ajaran Islam tentang jihad, politik dan revolusi. Ilmu “kumuniah” yang memuat perpaduan antara ajaran Islam dan sosialisme-marxisme, sebagaimana dia ajarkan di Minang, khususnya para pelajar Sumatera Thawalib, dilanjutkan ke murid-murid barunya ini.
Bagi mereka apa pun haluannya, yang penting sebuah pergerakan kemerdekaan. Ditambah lagi pendidikan mereka yang rendah, bahkan ada yang hanya sekedar bisa baca al-qur’an dan bahkan buta aksara, ajaran-ajaran Angko Pada sangat memukau dan membangkitkan gairah juang. Kesempatan seperti ini tidak pernah dialami oleh masyarakat di sekitar kepulauan Timor dan Flores. Alor adalah takdir bagi sejarah pergerakaan yang bersinergi dengan pergerakan yang sama di seantero Tanah Air. Bisa dipastikan bahwa dalam kelompok study ini intensitas transmisi ideologis berlangsung kencang.
Jika Agus Salim menjadi figur sentral dalam Jong Islamieten Bond (JIB) yang lahir di Jakarta, 1925; di Kalabahi posisi yang sama diperankan oleh seorang berilmu tinggi, yang seakan menjadikan kesempatan itu menjadi momen signifikan bagi transmisi pengetahuan dan ideologinya. Kelompok studi bergaya JIB ini, pada masanya, hanya ada di Makassar dan Kalabahi dalam seluruh kawasan Timur Indonesia. Para muridnya ini terkesima dengan apa yang diajarkan oleh Datuk. Islam mengharamkan praktik “riba” dan melarang umatnya menumpuk harta. Ini selaras dengan propaganda marxisme menentang kapitalisme. Dan Kompeni adalah kekuatan kapitalisme yang harus angkat kaki dari bumi Nusantara, salah satu tesisnya tentang konvergensi Islam dan komunisme.
Di Kefamenanu (sekarang ibu kota Kabupaten Timor Tengah Utara), Natar Zainudin tidak menjumpai para aktivis dengan antusiasme seperti di Kalabahi. Maklum, di sana mayoritas penduduknya bukan muslim, dan dikuasai tokoh-tokoh adat dan agama yang terkesan kompromistik dengan pemerintah Hindia Belanda. Sedangkan di Kalabahi saat itu mayoritas penduduknya muslim, urban dari Dulolong, Alor Kecil, Alor Besar, Kepulauan Pantar. Kui dan Moru dan desa-desa sekitar. Warga dari kawasan-kawasan itu selalu bersosialisasi dengan para pelayar dan pedagang dari Makassar tentang kedudukan Hindia-Belanda. Sebagai penjajah mereka harus dilawan dan diusir dari bumi Nusantara, termasuk Alor dan kepulauan sekitarnya.
Ilmu “kumuniah” yang diajarkan Datuk Batuah kepada murid-murdnya di Sumatra Thawalib, dia sebarkan kembali kepada para pemuda Alor. Tidak ada tantangan yang berarti dari pihak lain. Pemerintah kolonial pun seakan membiarkan karena pertimbangan posisi kawasan kepulauan yang terisolir ini sangat terbatas embusan “angin kumuniah” yang diajarkan sang Datuk ke kepulauan sekitar. Terlebih lagi murid-muridnya terbatas pada para kerabat suku Dulolung dan sekitarnya yang dinilai tidak memiliki kemampuan organisatoris. .Meski begitu, fenomena ini cukup merisaukan pihak-pihak gereja dan pemangku jabatan Kerajaan Alor. Kerisauan dan pengawasan pihak kerajaan kecil itu adalah pada efek eliminasi kedudukan dan statusnya yang bisa terancam.
Hubungan Raja Oemar Kalipang Nampira dengan para murid Angko Pada ini memasuki sebuah dimensi baru yang sama sekali tidak terbayang. Yakni dimensi politik yang potensial membawa keretakan hubungan kesukuan dan kekeluargaan antar mereka. Para aktivis kelompok studi itu umumnya menjalin hubungan kekeluargaan dengan Raja. Bahkan dalam tata hubungan secara adat, beberapa murid Angko Pada berasal dari puak aristokrasi Dulolong. Yakni sebagai anggota “Uma Kakang” (rumah sulung) yang harus dihormati oleh Raja Kalipang dari puak “Uma Raja). Untuk menghindari perselisihan, para aktivis JIB Kalabahi ini memindahkan konsentrasi pergerakan mereka kembali ke Dulolong, nantinya dalam tahun-tahun awal (1930-an).
PSII dari Makassar
Para controleur Hindia-Belanda yang berdiskusi dengan pihak kerajaan lokal akhirnya mulai menyadari tentang bahaya doktrin Angko Pada di Kalabahi. Beberapa pertemuannya dengan utusan dari Kupang dan Makassar di Kalabahi membuat kekhawatiran adanya gejala “kaum merah” yang ingin memusatkan kegiatannya di Kalabahi. Surat-menyurat Datuk Batuah ke berbagai pihak di luar tentang “Kapal Putih” (baca: politik) Sneevliet ke Kalabahi semakin membuat penguasa cukup gerah. Kapal Putih itu diisukan akan membawa orang asing yang sepaham dengan apa yang diajarkan Datuk Batuah. Akan menurunkan “orang-orang kapala merah”, maksudnya orang asing muslim yang berhaluan Marxis (Ba’ats), di Kalabahi.
Riwayat Datuk Batuah dan keluarga berakhir di Kalabahi pada 1930. Dia dibuang ke Boven Digul Papua. Tapi sebelumnya dia sudah menyiapkan beberapa surat yang akan segera dibawa ke Makassar oleh utusan kelompok Dulolong itu. Partai Sarekat Islam (PSI) yang menggantikan Central Sarekat Islam (CSI) pada tahun 1923, kemudian ditambahkan ”Indonesia” di belakangnya pada tahun 1927 (jadi PSII) telah diperkanalkan ke kelompok itu.
Adalah Oetoeng Date yang saat itu berusia 30 tahun berangkat ke Makassar untuk menuju alamat surat itu. Dia bertemu seorang petinggi PSII wilayah itu bernama H. Saman. Nampaknya PSII atau SI Afdeling (B) “merah” yang secara structural markas utamanya di Semarang telah bubar pada 1924; di Makassar terbentuk Tanfiziyah Markaziyah (Pengurus Pusat) baru, yang khusus berkonsentrasi di wilayah Indonesia Timur. Oetoeng Date diberi keterangan bahwa perlu lebih dari 100-an orang menandatangani surat pernyataan sebagai syarat mendirikan dan membentuk wilayah (Afdeling). Yang dibawa Oetoeng Date hanya ditandatangani 80-an orang.
Oetoeng kembali dan menginformasikan masalah ini ke grupnya di Kalabahi. Pihak penguasa Belanda telah mencium “gerakan rahasia” ini. Para aktivis ini diawasi ketat. Tak begitu lama jumlah penanda tangan mencapai 140-an orang. Oetoeng juga yang menghubungi sebuah perahu pinisi Bugis yang sedang berlabuh dan menitipkan surat ini dalam karung berisi kopra di palka perahu itu.
Beberapa utusan dari Makassar datang ke Kalabahi dan Dulolong beberapa bulan kemudian untuk mendiskusikan pilihan group aktivis muslim di Alor itu. Ada utusan yang menawarkan PSII haluan “Putih” dan ada juga yang “Merah”. Tidak ada keputusan, kecuali beberapa utusan dari pulau Pantar Bagian Barat, Baranusa, yang dengan tegas memilih PSII Tjokroaminoto-H agus Salim. Tokoh-tokoh Dulolong seperti Haji Dasing, Lenso Nae Kamahi dan Gleko-Gleko, juga Oetoeng Date dan Ismail Djawa cenderung ke ajaran Datuk Batuah. Mereka tetap berpegang pada melihat permasalah dalam masyarakat yang terjajah harus dengan pisau analisa dialektika Marx dalam paradigama Islam dengan semangat revolusi anti-penindasan. Sekali lagi tidak terkait indoktrinasi komuniniasme, mereka tidak memiliki kamampuan inteletual dalam hal ini, sebagi gerakan syiar Islam dan membebaskan penindasan Himdia-Belanda.
Sepanjang tahun 1930 sampai 1934 tidak berhasil terbentuk PSII Afdeling Alor yang akan membawahi semua kawasan Nusa Tenggara (NTT-NTB), bahkan Timor Portugis. Faktor lainnya karena banyak di antara mereka yang ditangkap dan dibuang ke berbagai tempat di Kepulauan Timor dan Flores. Adalah Haji Dasing yang kemudian berangkat ke Makassar untuk mencari solusinya di sana. Dia bertemu seorang tokoh pejuang nasionalis di sana. Mr. Tajuddin Noor, orang yang di masa kemerdekaan bersama Dr. Sam Ratulangi memimpin wilayah negara Indonesia Timur, dan memimpin Partai Nasional Indonesia. Kecemasan Tajuddin terhadap gejala “PSII Merah” di Kepulauan Timor membuat dia menghubungi para pengurus PSII “Putih” agar mengirim utusan “penyadar SI” ke Alor.
Dua orang “penyadar”, yakni, Abdurrahim Daeng Matorang dan Ustadz Mansur (asal Cirebon) ke Dulolong yang dijadikan markas PSII di Alor. Mereka menyusul Haji Dasing yang lebih dahulu pulang untuk mengondisikan suhu politik internal di Alor. Hampir setahun dua utusan itu tidak berhasil melunakkan orang-orang Dulolong itu untuk bergabung dengan PSII “Putih”. Ustadz Mansur kemudian kembali, tapi Abdurrahim Daeng Matorang memilih tetap berada di sana.
Bagi Haji Dasing, Umar Bara, Lenso Nae Kamahi, Gleko-Gleko dan kawan-kawan untuk melawan penjajah harus memakai pemikiran revolusioner, yakni dengan mempertentangkan kelas sosial antara penjajah dan para pendukungnya dengan masyarakat umum yang hidup di bawah penindasan struktural. Perlawanan adalah menghadapkan kaum sosialis-proletar dengan kaum kapitalis-borjuis. Tapi tetap berpegang pada prinsip Sarekat Islam “Sebersih-bersih Tauhid; Setinggi-tinggi ilmu; Sepandai-pandai siasat”.
De facto organisasi kemerdekaan itu telah lahir resmi pada 1930 di Dulolong, sekretariatnya berada di kediaman Lenso Nae Kamahi. Dan, para tokohnya mulai ditangkap dan dibuang satu-satu persatu ke berbagai pulau-pulau sekitar. Haji Dasing sempat diasingkan ke Ende; Umar Bara ke Kupang; begitu juga Samiun Boling; Muhammad Tahir ke Atambua Belu, bahkan beberapa ke Dili, antara lain kakak beradik Zaim dan Zainuddin Jahi.
Open Baar Baranusa
Para penggerak PSII dari Baranusa, Pantar Barat, berhasil meyakinkan Abdurrahim Daeng Matorang untuk berkonsentrasi di sana. Di suatu hari di akhir tahun 1933, Matorang mendarat di pantai Baranusa. Dia sudah ditunggu-tunggu segenap masyarakat Baranusa. Tarian Galasoro disertai gambus dana-dani menyambut Matorang. Empat puak besar masyarakat, yakni, Uma Kakang, Sandiata, Haliweka dan Wutung Wala bertumpah ruah memadati pelabuhan tradisional yang berada dalam sebuah teluk kecil yang sangat nyaman di permukaan lautnya. Partisipasi masyarakat dalam pesta penyambutan itu meluas. Suku di pedalaman, Dully, dan pesisir, Watang Ire, menganut agama yang berbeda pun terlibat.
Walau hanya dengan beberapa orang tokoh di kawasan yang lebih terpencil lagi itu, Matorang intens beri sosialisasi dan menyiapkan sebuah acara peresmian, open baar PSII. Tapi secara struktural PSII di Baranusa itu tetap manjadi Under Afdeling dari PSII berstatus Afdeling di Dulolong. Hal itu diupayakan Matorang untuk menjaga perasaan para tokoh di pulau Alor itu agar bisa mengakomodir PSII Baranusa sebagai bagian dari perjuangan mereka.
Di pertengahan tahun 1934, sebuah acara besar digelar di Baranusa. Acara Open Baar yang dihadiri oleh massa yang berjubel. Beberapa tokoh PSII dari Kalabahi menghadiri acara tersebut.Mereka adalah bagian dari kaum penggerak di Kalabahi yang mulai condong ikut ajakan Matorang ke PSII “Putih”. Antara lain, Muhmmad Tahir, H. Syukur, Lenso Nae Kamahi, Leikosa Nampira bersma istrinya dan Sabu Kera, isteri Oetoeng Date.
Daeng Matorang yang mendahului pidatonya. Kemudian Sabu Kera dan Bunga Nampira diminta memberikan pidato. Dua perempuan dari Dulolong ini terkenal sebagai singa podium yang berani memberikan materi pidato agitatif terhadap orang Valandja (Belanda).
Teriakan lantang “Allahu Akbar…. Allahu Akbar….” dari kedua perempuan ini membuat suasana membangkitkan semangat pergolakan dalam dada massa, yang tidak saja dari kalangan muslim, tapi juga dari Kristen yang memadati lapangan. Sementara moncong-moncong senjata serdadu Belanda yang sudah disiagakan mengepung area acara itu seraya mengarah ke dua perempuan di atas panggung.Tapi Sabu Kera tetap dengan semangat menyampaikan orasi tentang jihad adalah pilihan terbaik untuk melawan kompeni Belanda.“Hidup dengan merdeka dengan kemuliaan atau kita mati sebagai syahid…,” ucap Sabu.
Pasca open baar itu, operasi pembatasan gerakan PSII di Alor dan gerakannya semakin dilancarkan serdadu Belanda. Satuan-satuan pasukan Belanda didatangkan lagi dari Kupang. Rumah Lenso Nae Kamahi yang dijadikan sekretariat sementara di Dulolong didatangi satu pleton pasukan untuk merazia semua berkas atau benda yang ada kaitan dengan pergerakan PSII. Plan papan nama sekretariat yang berada di depan rumah dirubuhkan dan dihancurkan.
Selain itu ada upaya pihak pemerintah Hindia Belanda untuk mengadu domba antara kaum muslimin di kepulauan Alor dengan mendorong beberapa orang Dulolong untuk mendirikan organisasi bernama Sabilillah. Tapi kalah pamor dan malah dimusuhi oleh warga karena ketahuan ada kaitannya dengan kepentingan kolonial. Mereka yang bergerak mendirikan organisasi baru ini dikenal sebagai pihak-pihak yang kooperatif dengan penjajah.
“Kiri… Kanan… Kiri… Kanan…!,” Samiun Boling memimpin barisan Sarekat Islam Afdeling Padvinderij, kepanduan SI, yang biasa setiap sore melakukan latihan dari lapangan Kalabahi ke kompleks perkantoran pemerintah Hindia Belanda dekat tebing gunung yang tdk jauh. Hanya seekitar 300 meter ke arah utara. Derap kaki para pemuda inlander (bumiputra) ini sering membuat penguasa dan para anteknya terganggu. Apalagi Samiun sering mengucap “…lihat kiri ada musuh; lihat kanan ada ular…!,” menyambung aba-aba baris berbaris tadi. Yang dimaksudkan pada pemerintah Hindia-Belanda dan para kaki-tangannya yang berkediaman di sekitar jalan raya itu.
Kalabahi adalah kota kecil, apalagi Dulolong dan Baranusa. Dua tempat itu adalah kampung yang warganya muslim dan ramai oleh tradisi keagamaan yang sedang mengalami purifikasi dari tradisi “sinkretisme” akibat kehadiran PSII yang berpaham modernis. Derap kaki barisan Kepanduan SI di Kalabahi ini adalah bagian dari deru pergerakan kemerdekaan nasional di Nusa Tenggara. Dan, memang, merupakan satu-satunya gerakan kepanduan nasional di jajaran kepulauan Nusa Tenggara di tahun 1930-an.
Dan gegap gempita pergerakan kemerdekaan Indonesia bersemi kencang dari Teluk Kalabahi di pulau terpencil. Saat seantero wilayah Nusa Tenggara Timur masih pasrah terhadap penjajahan Hindia-Belanda. Jika pun gelar pahlawan kemerdekaan diberikan, sebagian keluarga besar mereka, dengan berat menerimanya, kerena pesan para pejuang Sarekat Islam ini “perjuangan adalah perlawanan keikhlasan terhadap ingatan”.
Ketika pergerakan kemerdekaan berskala nasional itu bersemi yang kian bergolak di kepulauan Alor tidak banyak pulau-pulau sekitar mengetahuinya. Mereka mengetahui justeru karena para pejuang Alor itu dibuang ke lokasi-lokaksi sekitar pulau Timor, Flores dan Sumba. Kala warga Kupang, Soe, dan Timor lainnya sedang sibuk menangkap sapi buat para meneer Hindia-Belanda; di Alor para meneer sibuk menangkap para pejuang kemerdekaan.
Sayang pemerintah daerah itu tak pernah memberikan apresiasi terhadap jasa-jasa para pahlawan ini. Pepatah “Bangsa yang besar adalah bangsa yang menghargai jasa para pahlawannya” tampaknya bukan petuah ampuh buat telinga pemimpin pemerintah setempat. Atau mungkin sengaja melupakan sejarah, yang tak pernah ditulis dan diterbitkan di daerah itu. Kisah besar dari pulau kecil yang terlupakan.