Menggerakkan Budaya Literasi
Hampir 80 persen penduduk Indonesia berusia 15-59 tahun sudah melek aksara. Bahkan untuk golongan usia 15-19 sudah lebih dari 99 persen. Untuk sebuah negara berpenduduk terbesar ke-4 dunia, catatan statistik itu pastilah menggembirakan. Namun, tingkat melek aksara yang tinggi itu tidak berkorelasi dengan minat baca masyarakat Indonesia, yang masuk dalam kategori terendah di dunia.
Beberapa tahun lalu UNESCO pernah melansir data, dari total 61 negara, Indonesia berada di peringkat 60 dengan tingkat literasi rendah. Peringkat 59 diisi oleh Thailand dan peringkat terakhir diisi oleh Botswana. Sedangkan Finlandia menduduki peringkat pertama dengan tingkat literasi yang tinggi, hampir mencapai 100 persen. Data ini jelas menunjukkan bahwa tingginya minat baca di Indonesia masih tertinggal jauh dari Singapura dan Malaysia, yang masing-masing menempati posisi 53 dan 56.
Bukan Sekadar Baca-Tulis
Tentu banyak faktor yang menyebabkan minat baca masyarakat, khususnya anak-anak sekolah kita, masih rendah. Di antaranya keluarga-keluarga di Indonesia pada umumnya belum punya kebiasaan membaca, sehingga kebiasaan ini tidak bisa ditanamkan sejak dini kepada anak. Kita ketahui, yang menjadi role model anak-anak dalam keluarga itu adalah orangtua. Maka kebiasaan anak, termasuk kebiasaan membaca, akan mengikuti kebiasaan orangtua. Oleh karena itu, orangtua punya peran penting untuk menanamkan kebiasaan membaca kepada anak-anak mereka. Jadi, kemampuan literasi anak sangat bergantung kepada kebiasaan membaca. Dengan kata lain pula, membaca bukan sekadar hobi untuk mengisi waktu luang, tetapi sebuah kewajiban. Ini yang pertama. Dan tampaknya bukan hal mudah karena kebiasaan membaca juga berkelindan dengan tradisi masyarakat yang lebih suka “menonton” ketimbang membaca.
Yang kedua, akses ke fasilitas pendidikan belum merata, dan kualitas sarana pendidikan yang masih rendah. Hal ini tampak dari masih banyaknya anak yang putus sekolah, dan sarana pendidikan yang tidak mendukung kegiatan belajar-mengajar. Secara tidak langsung, hal ini ikut menghambat perkembangan kualitas literasi di Tanah Air.
Ketiga, tingkat literasi sesungguhnya bertalian dengan ketersediaan bacaan. Boleh dibilang, produksi buku di negara kita termasuk yang terendah di dunia. Ini merupakan dampak dari belum berkembangnya penerbit terutama di daerah-daerah. Insentif bagi produsen buku dirasa belum adil, rendahnya royalti yang diperoleh penulis ditambah pengenaan pajak yang ikut, telah menyurutkan semangat penerbit dan penulis untuk melahirkan buku berkualitas.
Literasi atau keberaksaraan yang kita maksud dalam tulisan ini bukan sekadar kemampuan membaca, menulis atau berhitung, serta kemampuan untuk mengenali dan memahami ide-ide yang disampaikan secara visual. Namun demikian, kemampuan baca-tulis merupakan pintu utama bagi pengembangan makna literasi secara lebih luas. Oleh karena itu, National Institute for Literacy, misalnya, mendefinisikan literasi sebagai kemampuan individu untuk membaca, menulis, berbicara, menghitung dan memecahkan masalah pada tingkat keahlian yang diperlukan dalam pekerjaan, keluarga dan masyarakat. Sedangkan menurut Education Development Center (EDC), lebih dari sekadar kemampuan baca tulis, literasi adalah kemampuan individu untuk menggunakan segenap potensi dan keterampilan yang dimiliki dalam hidupnya. Dengan demikian, literasi mencakup kemampuan membaca kata dan membaca dunia.
Sekurang-kurangnya ada enam literasi dasar yang harus dikuasai orang dewasa menurut World Economic Forum, yaitu baca tulis, literasi numerasi, literasi finansial, literasi sains, literasi budaya dan kewarganegaraan, dan literasi teknologi informasi dan komunikasi atau digital. Menurut UNESCO, setidaknya ada 750 juta orang dewasa dan 264 juta anak putus sekolah yang minim kemampuan literasi dasar. Badan PBB telah menyatakan bahwa bahwa kemampuan literasi merupakan hak setiap orang dan merupakan dasar untuk belajar sepanjang hayat. Kemampuan literasi dapat memberdayakan dan meningkatkan kualitas individu, keluarga, masyarakat. Karena sifatnya yang multiple effect atau dapat memberikan efek untuk ranah yang sangat luas, kemampuan literasi membantu memberantas kemiskinan, mengurangi angka kematian anak, pertumbuhan penduduk, dan menjamin pembangunan berkelanjutan, dan terwujudnya perdamaian. Buta huruf, bagaimanapun, adalah hambatan untuk kualitas hidup yang lebih baik.
Gerakan Literasi Sekolah
Betapapun, tinggi-rendahnya literasi tidak bisa dilepaskan dari pendidikan persekolahan. Sebab, sekolah punya peran penting dalam mengembangkan kreativitas siswa dan guru untuk mendongkrak tingkat literasi bangsa. Sekolah dapat mengembangkan keunggulan literasi, yang dimulai dari gerakan membaca dan menulis, sampai melahirkan berbagai karya dari peserta didik dan guru. Dan untuk menghadapi persoalan yang boleh kita katakan, sungguh teramat gawat ini, karena menyangkut pertaruhan masa depan bangsa, tidak bisa dilakukan secara sambil lalu atau sekadarnya. Harus ada usaha ekstra untuk mengembangkan budaya literasi, yang sekarang menghadapi tantangan besar karena kehadiran teknologi informasi dan komunikasi. Di satu pihak teknologi komunikasi dan informasi membuka akses untuk memperoleh informasi dengan mudah dan murah, tetapi di pihak lain juga mengubah perilaku menjadi serba instan dan dangkal.
Upaya ekstra untuk mengembangkan budaya literasi itu, sebenarnya sudah tampak ketika pada tahun 2015 pemerintah, dalam hal ini Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, mencanangkan Gerakan Literasi Sekolah. Tujuan gerakan ini adalah untuk membiasakan dan memotivasi peserta didik, agar mereka mau membaca dan menulis. Gerakan Literasi Sekolah juga sekaligus dimaksudkan untuk memperkuat gerakan penumbuhan budi pekerti, atau memperkuat pendidikan karakter.
Melalui Gerakan Literasi Sekolah, peserta didik diharapkan memiliki kemampuan mengakses, memahami, dan menggunakan sesuatu secara cerdas melalui berbagai aktivitas, antara lain membaca, melihat, menyimak, menulis, dan/atau berbicara. Gerakan Literasi Sekolah tidak hanya melibatkan warga sekolah (peserta didik, guru, kepala sekolah, tenaga kependidikan, pengawas sekolah, omite sekolah, orang tua/wali murid peserta didik), teapi juga mengikutsertakan akademisi, penerbit, media massa, masyarakat (tokoh masyarakat yang dapat merepresentasikan keteladanan, dunia usaha), dan pemangku kepentingan di bawah koordinasi Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Dengan demikian, Gerakan Literasi Sekolah merupakan gerakan sosial dengan dukungan kolaboratif berbagai elemen.
Program Gerakan Literasi Sekolah kini sudah berlangsung tiga tahun. Apakah program ini cukup efektif untuk meningkatkan kualitas literasi peserta didik? Sejauh mana minat baca mereka setelah program ini dicanangkan? Agaknya, masih terlalu dini untuk memberikan penilaian yang final bahwa program ini berhasil atau gagal. Yang pasti, kita menginginkan Gerakan Literasi Sekolah menjadi program yang berkelanjutan, dijalankan secara konsisten, terencana, sistematis, tidak asal-asalan apalagi ‘hangat-hangat tai ayam’. Konsekuensinya, program ini harus pula didukung oleh pendanaan yang memadai.