Ivan Illich (1): Memerdekakan Masyarakat dari Sekolah

Illich yang pernah berkunjung ke Indonesia itu, di antaranya ke Pondok Pesantren Pabelan di Jawa Tengah, menyatakan di  sekolah kita diajar bahwa belajar yang bernilai adalah hasil kehadiran kita di kelas; bahwa nilainya meningkat jika makin banyak masukan yang kita peroleh dan akhirnya bahwa nilai ini bisa diukur dan dicatat lewar gelar-gelar dan ijazah-ijazah.

Ivan Illich, tak syak lagi, adalah kampiun di antara  sejumlah pemikir  yang menginginkan sistem persekolahan dihapus.  Kata  dia,  sebagai lembaga yang menghasilkan dan memasarkan pengetahuan, sekolah  telah membuat  masyarakat berasumsi bahwa pengetahuan itu higienis, murni, memberi dampak yang berarti, yang dihasilkan oleh kepala manusia dapat dipaket-paket atau dikemas-kemas. Dan itulah yang dijadikan alasan mengapa  sekolah itu merupakan  sesuatu yang wajib. Anak-anak diharuskan  sekolah untuk meyakinkan bahwa belajar secara otodidak atau mandiri itu tidak menjamin mereka beroleh pengetahuan yang memadai.

Dalam pandangan Illich, jika kepemilikan terhadap pengetahuan dapat dijadikan  sebuah ukuran dari produktivitas seseorang dalam kehidupan sosial dan nilai sosial, maka  pendidikan sejatinya bisa diproduksi dan dijual secara lebih efektif di pasar terbuka ketimbang di pasar yang dikuasai sekolah. Bukankah kebanyakan keterampilan dapat dengan mudah dikuasai anak bila anak-anak yang benar-benar tertarik untuk menguasainya? Bukankah  ini bisa dipelajari anak dari seorang panutan yang memiliki keterampilan? Ia mengkritik bahwa sekolah sampai sekarang masih membatasi kompetensi guru hanya sebatas wilayah kelas. Sekolah menghalangi guru mengklaim keseluruhan kehidupan manusia sebagai wilayahnya. Bila sekolah dihapus, rintangan semacam ini bakal hilang.

Kritik Ivan Illich  terhadap sekolah dapat dilihat dalam karyanya Deschooling Society (1973). Buku ini telah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia (Bebas Sekolah) dan menjadi pembicaraan hangat di Tanah Air, terutama di kalangan aktivis pendidikan pada tahun 1970-an. Illich yang pernah berkunjung ke Indonesia itu, di antaranya ke Pondok Pesantren Pabelan di Mungkid, Magelang, Jawa Tengah, menyatakan  sekolah mengajarkan  kita bahwa pengajaran menghasilkan belajar. Keberadaan sekolah memproduksi permintaan akan persekolahan. Kata dia, di  sekolah kita diajar bahwa belajar yang bernilai adalah hasil kehadiran kita di kelas; bahwa nilainya meningkat jika makin banyak masukan yang kita peroleh dan akhirnya bahwa nilai ini bisa diukur dan dicatat lewar gelar-gelar dan ijazah-ijazah.

Padahal dalam kenyataan, belajar menurut Illich adalah kegiatan manusia yang paling tidak memerlukan  manipulasi manusia lain. Kebanyakan kegiatan belajar bukan hasil instruksi,  tetapi merupakan hasil peran serta dalam situasi bermakna. Cara terbaik untuk belajar bagi kebanyakan orang, kata dia,  adalah justru menjadi ‘bersamanya’ (nya = yang dipelajari). Namun, sekolah mengubahnya dengan perencanaan dan manipulasi. Kritik Illich terasa makin pedas saat dia menegaskan bahwa sekali orang telah menerima akan kebutuhan sekolah ia menjadi mangsa empuk lembaga-lembaga selain sekolah. Pengajaran di sekolah telah  mempersempit  cara pandang ke “cakrawala”.  Peserta didik memang tak bisa ditipu mentah-mentah, namun pandangan mereka telah dibatasi, diajar untuk mengganti pengharapan jangka panjang dengan harapan-harapan sekarang atau besok. Mereka tak lagi merasakan kejutan (dalam arti baik maupun buruk) saat menjumpai orang-orang lain, karena mereka sudah diajar apa yang bisa diharapkan dari setiap orang lain, yang diajar seperti itu pula.

Menurut Illich, tentu saja sekolah bukan satu satunya lembaga yang tujuan utamanya membentuk pandangan manusia tentang kenyataan. Sebab  kurikulum tersembunyi ada di balik kehidupan keluarga, wajib militer, layanan kesehatan, apa yang biasa disebut profesionalisme,  dan media massa. Semua itu memainkan peran penting dalam manipulasi kelembagaan terhadap jagat manusia — visi, bahasa, dan tuntutan-tuntutannya. Namun dibanding semua lembaga itu,  sekolah paling memperbudak dan lebih sistematis karena sekolah diberi fungsi utama membentuk penilaian ktiris, dan secara paradoksal, ia mencoba melakukan itu dengan cara menjadikan belajar tentang diri sendiri , tentang sesama, dan tentang alam bergantung pada proses yang sudah dikemas lebih dahulu. Sekolah sudah merangkul kita begitu eratnya hingga kita tidak bisa berharap terbebaskan darinya sesuatu yang lain.

Menurut Illich, dalam usaha pendobrakan kemapanan sekolah bisa saja awal dari kemunculan sekolah global, yang menurutnya hampir tidak ada beda dengan rumah gila global atau penjara global. Terkait hal ini ia menawarkan dua alternatif. Pertama, kita dapat bekerja untuk alat-alat pendidikan baru yang mengerikan dan perkasa, yang mengajarkan tentang  sebuah dunia yang makin lama makin pekat serta merantai manusia. Kedua, kita dapat meletakkan landasan-landasan bagi era baru di mana teknologi akan dipakai untuk menjadikan msyarakat lebih sederhana dan lebih transparan, sehingga manusia  dapat mengetahui fakta-fakta serta menggunakan alat-alat untuk membentuk kehidupannya sendiri.  Singkatnya kita harus memilih antara menggulingkan sekolah mapan atau membebaskan kebudayaan dari sekolah.

Gagasan Ivan Illich tentang penghapusan sistem persekolahan berangkat dari semangat memperjuangkan  kebebasan pada manusia dari upaya dehumanisasi oleh kalangan otoritas terutama lembaga-lembaga pemerintahan. Ia menyadarkan banyak orang tentang ketidakberdayaan lembaga sekolah dalam mewujudkan manusia yang lebih baik, karena lembaga-lembaga pemerintahan baik sekolah, rumah sakit dan lain-lain tidak lebih dari sekadar membuat orang-orang menjadi tidak berdaya dan selalu berharap pada pelayanan dari pihak lain dan mengebiri potensi diri untuk mampu melakukan sendiri ketimbang melakukan hasil instruksi pihak lain.

Namun demikian, proposal Ivan Illich untuk membebaskan masyarakat dari sekolah, atau menggulingkan sistem persekolahan, agaknya dianggap terlalu radikal, meskipun dengan perkembangan teknologi informasi dan komunikasi sekarang, perlahan tapi pasti sekolah mulai berkurang perannya secara signifikan sebagai sumber pengetahuan dan keterampilan. Benar, masyarakat belum sepenuhnya bisa dibebaskan dari sistem persekolahan. Sekolah masih diperlukan untuk menyiapkan generasi masa depan yang lebih baik. Pertanyaannya, sekolah yang seperti apa yang bisa diharapkan untuk menyiapkan generasi mendatang itu. Alih-alih menggulingkan sekolah, Ivan Illich justru telah menginspirasi munculnya sekolah-sekolah bebas. ‘Ala kulli hal, kritik Illich terhadap sistem persekolahan merupakan peringatan, dan semoga saja menjadi kesadaran, bahwa keberadaan sekolah masih jauh dari yang diidealkan. Sementara itu, tidak sedikit pula dari anak-anak di negeri ini yang tidak punya akses terhadap pendidikan lantaran kehidupan keluarga mereka yang miskin.