MAN JADDA WAJADA: ETOS KERJA SANTRI

Kegiatan Santri Pondok Pesantren Al-Ihsan Anyar

Bagi santri   etos kerja atau pentingnya kita untuk bekerja keras yang disertai sikap pantang menyerah sebenarnya bukan hal yang asing. Sebab ia sudah menjadi bagian dari falsafah dan pandangan hidup Pondok. Bukankah sudah sejak pertama kali duduk dibangku kelas I, para santri diajarkan sebuah ungkapan yang singkat dan padat melalui mata pelajaran Mahfudhat yaitu “Man jadda wajada”?

Dikisahkan, Khalifah Umar ibn Khattab suatu ketika  melewati sekumpulan orang. Khalifah bertanya: “Apa yang sedang kalian lakukan?” Mereka menjawab: “Kami sedang bertawakkal.” Apa respons Khalifah Umar kemudian? Beliau berkata: “Bukan. Tetapi kalian sedang menggantungkan nasib kepada orang lain. Tawakkal sebenarnya adalah orang yang menaburkan benih di tanah lalu menyerahkan keberuntungannya kepada Allah.”  Ungkapan Saidina Umar tentang menabur benih itu bisa kita maknai sebagai sebuah keharusan orang untuk bekerja keras untuk mencapai yang diinginkannya. Sebelum menuai atau memanen orang harus menabur benih dulu pada lahan yang terlebih dulu diolah tentunya.

Dalam sebuah hadis diriwayatkan, seorang laki-laki datang kepada Rasulullah dengan mengendarai unta. Lalu ia bertanya: “Ya Rasulullah, haruskah aku biarkan saja unta ini tanpa ditambatkan, atau kemudian aku bertwakkal saja kepada Allah?” “Tambatkan untamu, dan sesudah itu bertawakallah,” jawab Rasulullah. (HR Tirmidzi).  Allah SWT berfirman, “Dan barangsiapa bertwakkal kepada Allah, niscaya Allah akan mencukupkannya.” (Q. 86:3)

Kerja keras yang kemudian diikuti dengan sikap tawakkal akan membentuk sebuah etos kerja pada diri seorang Muslim, yang bukan saja menganggap bahwa segala sesuatu yang ingin dicapai tidak bisa diraih dengan cara “sim salabim”, serba mudah dan instan, melainkan dengan tekad baja keras, namun juga dengan mengindahkan kaidah-kaidah agama dan norma-norma hukum yang berlaku. Dalam konteks ini Prof. Koentjaraningrat (almarhum), “bapak” Antropologi Indonesia, pernah mengingatkan kita bahwa karakteristik sebagian besar manusia Indonesia adalah “bermental penerabas”, yang cenderung ingin segera memperoleh apa yang diinginkan tanpa mematuhi kaidah-kaidah moral dan hukum yang berlaku. Oleh karena itu, jelas pula  bahwa etos kerja seorang Muslim lebih berorientasi pada proses (process oriented) daripada berorientasi pada hasil (result oriented).

Manusia yang mempunyai kecenderungan pada process oriented biasanya sangat memperhatikan cara yang baik dan benar dalam melakukan pekerjaan apa pun, serta menyerahkan hasil yang diupayakannya kepada Tuhan. Man proposes, God disposes. Dia tidak akan menerabas pagar etika dan peraturan untuk mewujudkan keinginan-keinginanya. Sementara itu, mereka yang berkecenderungan pada result oiented berperilaku sebaliknya. Mereka cenderung hantam kromo, tak mempedulikan halal dan haram dalam bekerja. Sikap yang berorientasi pada hasil ini kerap didorong oleh keinginan untuk memiliki segala sesuatu dan sebanyak-banyaknya. Tamak atau rakus alias serakah, jelas bukan bagian dari etos kerja seorang Muslim.

Kerja keras yang disertai sikap tawakkal, juga mengindikasikan bagaimana sikap seorang Muslim dalam memandang hidup. Yakni sikap optimistis. Dia memandang ketidakberuntungan, bukan sebagai sebuah kesialan yang harus terus disesali. Dunia di matanya tidak tampak kelam, sendu lara, tetapi cerah dan menyenngkan. Dia percaya akan janji Tuhan yang senantiasa menunjukkan jalan bagi kelananya. Bukankah Allah telah berfirman, “Wa man jaahada fiina lanahdiyannahum subulana (Barang siapa berjuang di jalan Kami niscaya akan kami tunjukkan jalan-jalan kami)”?