Mari Belajar Mendengar
Orang bilang, ‘untuk bisa menjadi pembicara atau penutur yang baik, seseorang mesti menjadi pendengar yang baik [lebih dulu]’, sebagaimana dikatakan juga, ‘jika ingin menjadi penulis yang baik, ia harus menjadi pembaca yang baik lebih dalu. Aktivitas mendengar dan membaca dalam konteks budaya dan peradaban memiliki artian luas—baik aspek objek yang didengar atau dibaca maupun subjek yang menampungnya. Artinya, dalam wujud interaksi demikian, pertimbangan utamanya bukan hanya pada apa yang didengar dan dibaca saja, tetapi juga tergantung pada kapasitas dan personalitas pendengar atau pembacanya. Yakni, karena muatan dari apa yang didengar adalah aspek maknanya, yang berlimit relatif, maka sang pendengar pun seyogyanya membuka akal dan hati selapang mungkin.
Posisi pendengar dan pembaca itu bisa ditempati siapa saja; termasuk para pemimpin, pejabat publik, pengusaha atau masyarakat luas. Adalah sangat dimengerti jika dikatakan bahwa pemimpin yang baik—dalam tingkat apapun—biasanya adalah seorang pendengar/pembaca yang baik. Semakin komprehensif dan tepat mendengarkan aspirasi dari berbagai lapisan masyarakat, misalnya, sang pemimpin akan lebih arif dalam berbicara, membuat kebijakan, dan mengambil tindakan konstruktif.
Seumpama saja terbentuk kesadaran tentang keniscayaan relasi yang saling mempengaruhi antara setiap individu dengan lingkungan natural dan sosialnya, maka proses mendengar terhadap lingkungan di tanah air tempat kita tinggal ini akan semakin dibutuhkan. Sayangnya, terkadang, oleh karena kedudukan sosial atau posisi politik tertentu, seseorang kerapkali gagal membangun komunikasi seimbang dengan lingkungannya. Posisi, jabatan, peran sosial dan politik, kerap membelenggu akal sehat dan mempersempit jiwa seseorang untuk menyediakan waktu dan serius mendengarkan “suara-suara” alam dan rakyat yang hakikatnya adalah amanah di atas sebuah jabatan publik.
Perkembangan sosial-budaya dan politik yang berjalan kini, menunjukkan sepak terjang para pemimpin yang seolah abai dalam mendengar, apalagi melaksanakan amanat rakyat dan konstitusi. Alih-alih membangun sistem demokrasi yang dianut untuk menjadi lebih maju, mereka justru berperilaku sebagai agen penghambat aplikasi nilai dan moral demokrasi. Sebagai ganti dari mendengarkan aspirasi rakyat secara sungguh-sungguh, mereka memilih bertingkah polah atas kepentingan sendiri. Maka tampaklah, misalnya, bukan para pejabat atau pemimpin itu yang melayani rakyat, tetapi merekalah yang minta pelayanan maksimal. Sebuah sarana umum jauh di daerah yang tadinya tak terurus tiba-tiba direnovasi supercepat oleh berbagai unsur pejabat daerah terkait hingga menjadi tempat yang baik dan layak hanya karena bakal ada kunjungan presiden atau pejabat dari pusat. Ini menunjukkan bahwa keinginan memperbaiki fasilitas itu bukan karena ketulusan untuk rakyat. Jika tidak ada “kunjungan” itu, apakah memang akan dilakukan perbaikan sebagaimana mestinya? Kalau pun dilakukan, harus berapa lama masyarakat setempat menunggunya? Tentu saja, mentalitas feodalistik seperti ini hanya satu contoh saja.
Pudarnya mental dan karakter luhur bangsa dalam berbagai praktik politik yang tergelar di sekitar Pemilu adalah contoh lain. Para pemburu tahta dan kuasa kerap berakrobat tanpa malu. Pencitraan dan merebut hati rakyat dilakukan kurang proporsional; yang semakin jelas lagi ketika mereka tak terpilih. Bagi yang terpilih, biasanya lantas menganggap jabatan publik dan kepemimpinaan di tangannya ialah karena semacam jerih payah pribadi dan kelompoknya saja. Sehingga kebijakan dan sikap kepemimpinannya—ketika dihadapkan pada pilihan-pilihan—akan mudah menyepelekan kemaslahatan rakyat dan mengorbankan ekosistem lingkungan.
Hal itu berbeda dengan orang-orang yang menganggap jerih payahnya sebagai kewajaran dan kemestian, atau penunaian janji. Karena apa yang diupayakan—sebagai calon pemimpin atau pemimpin—memang sudah sepatutnya ia berikan dengan empati mendalam pada masyarakat melalui sikap adil dan usaha-usaha yang menyejahterakan. Dan, karena serius mendengar suara tiap elemen masyarakat, ia sampai merasakan betul apa yang dirasakan rakyatnya.
Sosok pemimpin demikian biasanya, meminjam pendapat Aristoteles, adalah yang tidak menyukai jabatan itu. Artinya, dia menjadi pemimpin bukan karena hasrat dan kesukaannya, tetapi lebih karena munculnya kesadaran akan kewajiban dan tanggung jawab pada masyarakat setelah purna dan memaklumi batas-batas kebutuhannya sendiri. Apa yang dipikirkan dan dilakukannya menjadi mulia karena dia telah dimuliakan oleh masyarakat dalam suatu jabatan untuk menunaikan amanah mereka. Dia ringan terhadap jabatan, tetapi sama sekali tidak mengentengkan tanggung jawab yang diemban. Hubungan yang terjalin antara pemimpin dan rakyat kemudian menjadi hubungan saling memuliakan; sehingga—dia berkeyakinan bahwa—setiap pengabaian terhadap amanah tersebut hakikatnya adalah pengkhianatan terhadap rakyat, yang dengan sendirinya berarti penistaan terhadap dirinya sendiri—hingga dia tak layak dihormati lagi.
Konteks mendengar suara rakyat bagi pemimpin, sesungguhnya tak sekadar menerapkan asas “dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat”, tetapi juga untuk menunaikan amanat Tuhan, karena vox populi vox dei (suara rakyat suara Tuhan). Karena itu, jika para pemimpin abai terhadap posisi dirinya di hadapan Tuhan, tidak mengindahkan perintah Tuhan—seperti, bahwa berbuat karim dan memandang setiap pengorbanan terhadap rakyat adalah mulia dan diridai Tuhan—lalu bagaimana mungkin mau mendengarkan suara rakyatnya.
Sampai batas tertentu, pengabaian terhadap suara rakyat dan keseimbangan alam bisa disebabkan oleh cara berpikir dan berbudaya yang menyeret banyak orang ke lembah materialisme; yang menafikan setiap aspek di luar jangkauan pancaindra. Rasionalitas dijerembabkan pada pemenuhan bangunan-bangunan jasmaniah belaka, kesepakatan dibuat sebatas kalkulasi untung-rugi dan hasrat duniawi, komitmen dan janji mudah diabaikan dan menjadi semacam permainan belaka. Peran politik yang semestinya diaplikasikan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat—sebagai amanat konstitusional—diubah menjadi seni mempengaruhi orang lain, yang dalam praktiknya tak bisa dibedakan dengan tipuan. Tak heran jika tersiar pula kabar, bahwa sebuah kebijakan atau undang-undang bisa menjadi ladang transaksional demi kepentingan pemodal dan hasrat menumpuk-numpuk kekayaan para pejabat [legislatif & eksekutif]. Oleh karena mindset materialisme itu pula maka kejujuran dan altruisme dianggap omong kosong, serta kerja keras jadi bersyarat—bukan lagi merupakan kemestian guna mencapai tujuan. Bukankah kini menyebar ujaran “wani piro” untuk melancarkan urusan secara birokrasi; dan komitmen menjadi absurd karena “semua [itu] bisa diatur!”
Kursi legislatif dan eksekutif (juga yudikatif), kini telah menjadi ajang “perebutan” orang-orang tanpa dibangun dari dasar panggilan pengabdian. Munculnya praktik politik uang, perdukunan, pemalsuan dokumen, mencuri suara, praktik “dagang sapi” para petinggi partai, dan aneka perilaku politik tak terpuji lainnya, menunjukkan semakin tergerusnya nilai dan moralitas luhur kemanusiaan. Akibatnya, slogan-slogan seperti “abdi negara”, “siap melayani” dan semacamnya, hanya menjadi hiasan belaka. Jika model-model perilaku para pemimpin seperti itu tak segera diubah, maka kehancuran bangsa sudah di depan mata.
Salah satu yang utama dan mesti segera dibangun ialah pencerdasan kehidupan bangsa—sebagai suara nurani rakyat dan salah satu dari empat amanah konstitusi. Orang-orang yang haus tahta dan kekuasaan biasanya akan selalu mencari cara untuk mengabaikan jalan-jalan pencerdasan ini. Sebab, para pemburu tahta biasanya antikritik, sulit jujur, dan berwatak tamak; sementara tiga watak buruk itu adalah musuh yang harus dihindari para pemimpin.
Pilihan demokrasi yang dipilih Republik Indonesia ini, sebenarnya juga memungkinkan untuk terpenuhinya amanah tersebut, mengingat demokrasi yang sesungguhnya mensyaratkan semakin luasnya kecerdasan dan kesadaran politik rakyat. Pada giliran selanjutnya, suara-suara dari masyarakat yang cerdas adalah “bahan berkualitas” sebagai masukan bagi pemimpin. Semakin cerdas masyarakat, semakin dewasa pula menyuarakan pilihannya; mereka yang cerdas biasanya tak mudah dikelabui, mengerti kemaslahatan dan berani memperjuangkannya. Karena pencerdasan di sini berarti menyadari potensi dan sumber daya serta kemaslahatan bagi bangsa dan negaranya, sehingga selalu bangkit berusaha untuk mengoptimalkan peran dalam pilihan-pilihan kerja demi membangun bangsa.
Jadi, teruslah “mendengar” jiwa alam dan nurani masyarakat. Sehingga setiap posisi dan peran sosial atau politik, bisa membentuk nalar yang membebaskan seseorang dari kesempitan pandangan; serta bisa membangun kesadaran yang tulus, empatik dan karim. Mari, “belajar mendengar”!