Ini Dia Sultan Banten yang Durhaka (2)
Seperti sudah dikemukakan dalam tulisan bagian satu, pengkhianatan Sultan Haji yang berperang melawan ayahnya sendiri, telah menimbulkan perasaan yang kurang nyaman di kalangan masyarakat Banten, khususnya keluarga kerajaan. Apalagi kisah ini pernah diangkat dalam sebuah kisah drama oleh seorang penulis Belanda, Onno Zwiervan Haren menulis sebuah drama mencekam berjudul “Agon Sulthan van Bantam”, yang berkisah tentang bantuan militer Belanda kepada anak Sultan Ageng yang durhaka itu. Untuk itu sebuah cerita fiksi pun dibuat, yang sampai sekarang oleh sebagian masyarakat Banten dipercaya sebagai kisah nyata, sebagaimana termuat dalam Wawacan Syekh Mangsur.
Cerita itu mengungkapkan bahwa Sultan Haji sewaktu kecil dikenal sebagai anak yang alim, berakhlak mulia, dan amat berbakti kepada orangtua. Sewaktu akan menunaikan ibadah haji, ayahnya, Sultan Ageng Tirtayasa, berpesan kepada putranya itu agar sekembalinya dari Tanah Suci, ia harus langsung pulang ke Banten. Tidak boleh singgah di mana-mana. Rupanya dia tidak memenuhi nasihat orangtuanya itu. Sepulangnya dari Mekah, ia ternyata singgah di Pulau Putri atau Pulau Majeti. Di sana, Sultan Haji bertemu dengan seorang perempuan yang cantik, keturunan Raja Jin. Dia jatuh cinta, lalu menikahinya. Atas permintaan sang putri, seluruh pakaian dan perhiasan ini kemudian diberikan kepada kakak sang putri yang yang kebetulan berwajah mirip dengan Sultan Haji. Si Abang itulah yang kemudian berlayar ke Batavia dan mengaku bernama Sultan Haji. Karena pakaian dan wajahnya memang mirip, rakyat pun mengakuinya. Dialah yang kemudian memerintah Banten dan berperang melawan Sultan Ageng Tirtayasa.
Menyadari kesalahannya, Sultan Haji lalu kembali ke Mekah. Bertobat, sambil memperdalam ilmu. Begitulah, setelah selang beberapa tahun, Sultan Haji yang asli ini pulang ke Banten, dan melihat keadaan negerinya yang sudah berubah. Untuk menjaga jangan terjadi keributan, ia menyingkir ke Cimanuk, Cikadueun, Pandeglang. Di sana, ia aktif menyebarkan agama Islam hingga meninggal dunia. Dialah yang kemudian dikenal dengan nama Haji Mansyur atau Syekh Mangsur Cikadueun, yang makamnya di keramatkan dan ramai diziarahi itu. Begitulah cerita yang telah melegenda tentang Sultan Haji yang berbeda dengan catatan sejarah.
Seperti dikemukakan Tubagus Tryana Sjam’un, tokoh pendiri Provinsi Banten, penghianatan Sultan Haji terhadap ayahnya sendiri, merupakan lembaran hitam dalam sejarah Banten yang terasa pahit untuk dikenang. Maka, bisa dimaklumi, menurut Tryana, jika kemudian dimunculkan kisah untuk mengubur, atau setidaknya menandingi, ingatan kolektif yang terasa getir itu. “Setidaknya, kisah yang sudah melegenda di kalangan masyarakat Banten itu dikarang untuk menutupi kesalahan Sultan Haji dan kelemahan keluarga keraton,” ujar Tryana yang menurut — catatan sementara kalangan di Banten — -mempunyai garis keturunan dari Sultan Abul Mufakhir.
Menurut Tryana Sjam’un, paling tidak ada tiga pelajaran yang bisa ditarik dari tragedi Sultan Haji. Pertama, dari sisi moral. Kata dia, mengkhianati ayah sendiri dan berpihak kepada musuh, dari sudut pandang moral apa pun, apalagi agama, merupakan perbuatan durhaka. Kedua, menyangkut perasaan rakyat. Sultan Ageng telah membuktikan sebagai pemimpin yang membawa kejayaan bagi Banten dan kesejahteraan bagi rakyatnya. Oleh karena itu, setiap pengkhianatan kepada sang pemimpin, apalagi itu dilakukan oleh anaknya sendiri, jelas akan melukai perasaan rakyat yang dipimpinnya. Ketiga, masa depan Banten. Kata Tryana, Sultan Haji tidak memikirkan masa depan Banten akibat perbuatannya itu. “Dia hanya berpikir bahwa dia harus berkuasa, meskipun untuk itu dia harus menyingkirkan ayah dan saudara-saudaranya. Pamor keluarga kesultanan merosot setelah itu, sampai akhirnya Banten dikuasai total oleh Belanda. Bahkan, keratonnya pun dirobohkan. Alhamdulillah, berkat perlindungan Allah, masjidnya bisa tegak sampai sekarang,” tutur Tryana Syam’un, yang pedagang dan banyak membaca buku-buku sejarah ini – dari sejarah Tuhan (history of god) sampai sejarah lokal.
Sumber: Nina Herlina Lubis, Banten dalam Pergumulan Sejarah: Sultan, Ulama dan Jawara (2003); A. Suryana Sudrajat, dkk.. Negeriku Begini Bangsaku Begitu, Percikan Pandangan Tryana Sjam’un (2005).