Resensi Buku: Dinamika Maluku Utara di Mata Seorang Pendidik

Judul Buku : Maluku Utara dalam Dimensi Sosial dan Spiritual pada Era Disrupsi

Penulis : Dr.Kasman Hi. Ahmad, M.Pd.

Penerbit : Samudra Biru, Yogyakarta

Tebal buku : 174 halaman + xii

Tahun terbit : Oktober 2024 (Cet.1)

Setidak-tidaknya ada tiga alasan sehingga penulis buku ini gelisah, sehingga harus menulis hal ini. Pertama, masalalu penulis sebagai penyintas konflik komunal di Maluku Utara; Kedua, perspektif penulis yang berefleksi pada masalalu ketika Sultan Ternate memiliki peran signifikan dalam menyuburkan Islam di Ternate; Ketiga, perspektifnya yang menghujam pada nasib generasi muda Maluku Utara.

Buku Maluku Utara dalam Dimensi Sosial dan Spiritual pada Era Disrupsi merupakan sikap reflektif dari Dr. Kasman Hi. Ahmad, M.Pd –tokoh muda Maluku Utara yang pernah memimpin sebuah kampus [Universitas Muhammadiyah Maluku Utara], kemudian mendapat amanah untuk menjadi Ketua ICMI Orwil Maluku Utara, untuk menafsir dan menyelami makna atas Pembangunan Maluku Utara dengan berbagai dinamikanya. Terdapat hampir sepuluh artikel yang memberi penekanan pada pengembangan ekonomi masyarakat era disrupsi. Sekalipun begitu, dalam setiap irisan tulisan yang ada, penulis tak mengabaikan proses pendidikan sebagai titik acu dalam membangun sumber daya manusia di Maluku Utara. Pada titik ini, penulis meletakkan modal sosial dalam pembangunan menjadi sesuatu yang niscaya, dan perlu dirawat secara serius. Karena selama ini potensi modal sosial belum maksimal pengelolaannya.

Harus diakui, masyarakat membutuhkan partisipasi, pemberdayaan, dan tentu transparansi dengan pelibatan semua pihak untuk bersama bekerja. Masyarakat menyadari, bahwa kekayaan yang dimiliki Maluku Utara hanyalah titipan. Karenanya, pemimpin mestinya menjadikan kekuasaannya sebagai–modal sosial– meminjam ungkapan R.D. Putnam (2001) di mana didalamnya terjaga hubungan antar individu-individu, jaringan sosial, dan norma timbal-balik serta saling percaya yang tumbuh di antara mereka. Saling percaya (trust), saling merawat nilai-nilai yang hidup di tengah masyarakat, dan saling menjaga ikatan-ikatan kohesi sosial. Semua ini membutuhkan penguatan kesetaraan sosial dan ekonomi, serta berperannya para pemimpin untuk menumbuhkan nilai kesadaran akan posisinya di tengah masyarakatnya agar kekayaan alam tidak menjadi penghisap bagi mereka yang lemah.

Cermin Masa Lalu

Kembali pada pembukaan tulisan ini, bahwa ada tiga alasan penulis menulis buku ini. Alasan Pertama, beliau adalah salah seorang penyintas konflik komunal (tahun 1990-an) di Maluku Utara. Pengalaman penulisnya, ia dihadapkan pada dua sisi: konflik dan integrasi. Keduanya, inheren pada kehidupan manusia di dunia ini. Memahaminya, bukan berarti menerima dan membenarkan konflik sebagai aspek alamiah dan tidak dapat dihindari. Untuk mencegah konflik yang telah terjadi berkali-kali dalam sejarah manusia diperlukan pemahaman mengenai nilai (value) yang melampaui kedua sisi kehidupan tersebut, yaitu “kehidupan manusia dan makhluk lainnya” adalah kemuliaan yang diberikan Tuhan. Inilah nilai tertinggi, dan layak ditinggikan, untuk mencegah kehidupan bersama yang kacau. Ditinggikan tidak sama artinya dengan “diada-adakan” atau “mengada-ada”, tetapi didasarkan pada kenyataan di mana keberlanjutan kehidupan species manusia dan species lainnya di dunia ini bergantung pada bagaimana kehidupan ini dinilai berdasarkan kenyataan keragaman manusia dan di sekeliling manusia juga terdapat kehidupan species lain yang juga beragam. Semua itu adalah anugerah Tuhan, sang Pencipta.

Pada buku ini, penulis mengatakan,” Nilai ini, dalam keyakinan saya, akan dijunjung oleh semua penganut agama dan agamanya, bahkan mereka yang ateis sekalipun. Dalam situasi tidak terkendali ketika terjadi konflik seperti yang pernah dialami Halmahera Utara, nilai universal di atas nyaris raib.”

Masa kelam yang telah lewat dapat melekat pada memori para penyintas, dari semua pihak yang tercebur dalam kubangan konflik. Melihat kembali masa kelam tersebut dari pandangan masa kini, sangat mungkin mereka yang mengalaminya terheran-heran bagaimana mungkin sesama saudara-manusia-seetnik-sekeluarga-beda agama-beda suku dapat saling meniadakan dalam situasi yang tidak pernah dibayangkan sebelumnya. Tidak ada percikan konflik sebelumnya yang cukup signifikan.

Pasca konflik komunal di Halmahera yang terjadi pada akhir 1990-an hingga awal 2000-an, telah dilakukan berbagai upaya rekonstruksi positif untuk memulihkan kehidupan sosial, ekonomi, dan politik masyarakat. Rekonsiliasi positif harus tetap berjalan. Tetapi tugas pembangunan nasional dan daerah adalah mengusahakan keadilan sosial melalui instrumen pembangunan yang merata dan menumbuhkan budaya yang menjunjung keragaman manusia.

Pembangunan sosial budaya melalui program dan kegiatan memajukan kesenian tempatan, menumbuhkan partisipasi komunitas dalam program dan kegiatan pembangunan yang memungkinkan partisipasi langsung itu terjadi. Program pembangunan mental tidak kurang pentingnya dengan program pembangunan sektor lainnya. Dalam pendidikan formal dan kegiatan kebudayaan misalnya, dapat melibatkan partisipasi masyarakat multi etnik dapat dilakukan program dan kegiatan yang mendorong sikap keterbukaan dan membangun pemahaman bersama mengenai hakekat perbedaan antar manusia.

Alasan kedua, refleksi penulis pada sejarah peran kerajaan Ternate pada masa lalu, wabil khusus Kerajaan Ternate pada masa awal, ada salah satunya Lembaga Pendidikan Islam, yaitu Pangadji, sebuah Lembaga Pendidikan dengan tradisi intelektal kuat. Ia sebuah lembaga pendidikan non-formal yang berkembang dalam masyarakat Islam di kawasan ini. Pangaji memiliki peran penting dalam proses transmisi ilmu agama dan merupakan bentuk awal pendidikan anak-anak di Ternate. Sistem Pangaji bukan hanya sekedar mengajarkan agama, tetapi juga nilai-nilai budaya, sosial, dan moral dalam masyarakat Ternate.

Pangaji adalah lembaga pendidikan tradisional yang sudah ada sejak Islam masuk ke Ternate pada abad ke-15. Islam datang ke Ternate melalui jalur perdagangan dan dakwah, terutama dibawa oleh para pedagang dan ulama dari Arab, Gujarat, dan Persia. Dengan semakin kuatnya pengaruh Islam, Sultan-sultan Ternate mulai mengadopsi sistem pendidikan Islam, salah satunya melalui pengajian atau Pangaji ini.

Bisa dikatakan, bawa sejak awal Pangaji berfungsi sebagai tempat untuk mempelajari dasar-dasar agama Islam, terutama mengaji Al-Qur’an, tata cara sholat, dan nilai-nilai akhlak. Pengajaran dilakukan di rumah guru atau orangtua yang dianggap mampu mengajarkan agama, baik itu ulama maupun orang-orang yang sudah mendalami ajaran Islam.

Beberapa sumber menyatakan bahwa Pangaji telah ada sejak masa Sultan Zainal Abidin (1486–1500), yang merupakan Sultan Ternate pertama yang secara resmi memeluk Islam. Pada masa ini, pendidikan Islam melalui pengajian atau Pangaji sudah mulai sistematis dan menjadi bagian penting dari kehidupan sosial masyarakat Ternate.

Alasan ketiga, refleksi yang mendalam penulis pada nasib generasi Maluku Utara kini. Kembali pada nature Kasman sebagai pendidik, kuat sekali refleksi beliau pada generasi Maluku Utara hari ini. Tak heran kalua Kasman menegaskan, “Pendidikan, sebagai salah satu pilar dakwah Islam, dimandati tugas dalam dua segi: binaa-an wa difaa’an, membina dan mempertahankan. Pertama, membina mereka yang sudah muslim sedari lahir maupun yang baru masuk Islam berkat keberhasilan dakwah Islam. Kedua, mempertahankan Islam dan umat Islam dari mereka yang tidak senang melihat kemajuan Islam dan bahkan yang melihat Islam sebagai rivalnya.

Selanjutnya Kasman mengatakan, “Sebagai da’i, kita diajarkan supaya memanggil semua orang kepada jalan Tuhan. Walaupun begitu, kita diperintahkan supaya memanggil orang dengan cara bijaksana. Bil hikmah dalam suatu masyarakat yang terdiri dari pemeluk-pemeluk berbagai agama, terasa sekali sangat mutlak diperlukan. Pada kamus orang-orang beragama, tidak ada tidak ada pengertian semua agama adalah benar. Yang ada, agamanyalah yang benar. Karena itu agamanya harus disampaikan kepada siapa saja, dan dengan cara apa saja. Kalau semua pemeluk agama bersikap seperti itu, maka yang akan terjadi adalah “perebutan pengikut: yang diwarnai dengan “perang dingin” antar umat beragama, bukannya kerukunan!

Gagasan bahwa pendidikan menjadi pondasi perubahan sosial berawal dari pemahaman bahwa pendidikan memiliki peran penting dalam membentuk pola pikir, sikap, dan perilaku individu, yang pada gilirannya dapat mempengaruhi dinamika dan struktur sosial secara keseluruhan.

Beda Preferensi Antargenerasi

Buku ini seakan menjawab “tantangan” zaman, wabilkhusus tantangan yang dihadapi generasi baby boomers dan generasi X. Antara keduanya, berbeda sekali. Misalnya, generasi milenial memiliki pola pikir sosial dan kemanusiaan lebih tinggi jika dibandingkan dengan dua generasi tersebut. Tentang hal ini penulis mengutip Kresnayana Yahya. Beliau saat itu (2019), pernah mengatakan (sebagai Chairperson Enciety Business Consult), “Anak muda sekarang punya jiwa filantropi yang tinggi. Artinya, Indonesia saat ini berbeda dengan dulu. Anak muda sekarang belum punya banyak uang, namun punya kepedulian dan jiwa kemanusiaan yang tinggi. Yang terpenting, untuk anak muda sekarang itu harus banyak pengalaman.

Ikut berpartisipasi dalam kegiatan sosial. Saya yakin jika pengalaman-pengalaman itu dapat bermanfaat di kemudian hari,” kata Kesnayana Yahya.

Keyakinan itu dikuatkannya,“Ini menjadi contoh anak muda atau kaum milenial punya jiwa kepedulian yang tinggi,” terang pria yang mendapat julukan Bapak Statistika Indonesia itu.

Kresnayana Yahya meneruskan,”Dunia digital bukan tempat untuk ngerasani orang. Di sana banyak yang dapat dilakukan. Artinya, saatnya dunia digital dapat membangun manusia makin manusiawi.(Kompas.id, 19 Mei 2019. Beliau dua tahun setelah itu berpulang setelah dirawat di RS Mitra Keluarga, Surabaya).

Pola “komunikasi kemanusiaan” generasi milenial makin kekinian. Mengenal itu, menuntut kita sadar kecenderungan agar bisa connected dengan mindset mereka, faham dengan pola aktivitas mereka. Dengan begitu, semua yang membasiskan aktivitas pada gawainya, tidak selalu hal-hal yang wasting time. Bahkan secara riil, kontributif untuk orang lain.

Fenomena yang memapar masyarakat itu, telah muncul beberapa tahun yang lalu. Ketika dunia dipapar pandemi, fenomena yang cukup mencuat, “Konser dari Rumah”- kerjasama Kompas TV-Sobat Ambyar (Mei 2020). Menurut Rosiana Silalahi, seperti dimuat di situs kompas.com, konser live itu disiapkan serba keterbatasan personil, apalagi dalam kondisi extra ordinary, hal diekspresikan Rosi dengan satu kata: gendeng (gila, bhs. Jawa). Itu dikatakan saat wakil pemimpin redaksinya, Nugroho mengatakan,”Harus jalan.”

Reaksi netizen, kata Rosi, banyak yang ngomel-ngomel lantaran tidak bisa mengakses tautan yang disiapkan Kitabisa.com. Lewat whatsapp, Rosi mendapat laporan, server Kitabisa.com down karena tak mampu merespon ribuan transaksi yang masuk dalam hitungan menit. “Jujur, saya kecewa dengan Kitabisa.com,” kata Rosi.

Begitu dialihkan ke rekening yang lebih mudah diakses publik, ternyata tercatat lebih dari 14.000 transaksi dalam 30 menit! Konser Amal Didi Kempot itupun ditayangkan selama tiga jam. Hasilnya memicu keharuan Rosi. Konser itu menghibur sekaligus memberi kesadaran kepada masyarakat untuk tidak mudik. Hasil penghimpunan donasi itu, semua diserahkan untuk membantu masyarakat yang terdampak covid19. Berapa jumlah dana yang tergalang? Total mencapai Rp7,2 miliar! Dari jumlah itu, sang penyanyi tidak mengutip sepeserpun. Publik perlu tahu, mayoritas Sobat Ambyar, komunitas fans Didi Kempot, adalah generasi muda. Capaian penggalangan sampai Rp7,2 miliar, menggambarkan dua hal: mayoritas generasi muda itu fans Didi Kempot, dan mereka ternyata filantropis. Allahuakbar! (Kompas TV, 25 April 2020, YouTube diakses 24 Oktober 2024).

Saya merenungkan buku ini dengan dua pandangan: buku ini menjadi titik tumpu reflektif seorang pendidik dengan pengalaman dipapar suasana sosial dan konflik komunal; dan buku ini juga membekalkan kita untuk memandang lebih luas pada kesekitaran kita hari ini juga pada masa depan, dengan optimistis, berbaik-sangka kepada takdir Allah.*