Buku Arsul Sani tentang Kontraterorisme dan Perlindungan HAM
Judul Buku: Catatan dari Senayan 3: Keamanan Nasional dan perlindungan HAM :Dialektika Kontraterorisme di Indonesia
Penulis: Arsul Sani
Penerbit: Buku Kompas, 2024
Halaman: xvi+256 Halaman
Ini buku ketiga Asrul Sani semasa menjadi anggota DPR-RI dari tahun 2014-2024. Karen itu, judul buku diawali dengan Catatan dari Senayan 3. Buku pertamanya Konvergensi hukum, HAM dan Keamanan Nasional (2018) dan Relasi Islam dan Negara, Perjalanan Indonesia (2021). Bedanya, buku Arsul yang ketiga merupakan adaptasi dari disertasi doktoralnya yang dia pertahankan di Collegium Humanum, Warsaw Management University, Polandia. Judulnya: “Re-examining the Considerations of National Security Interest and Human Rights Protection in Counter-Terrorism Legal Policy: A Case Study on Indonesia with Focus on Post-Bali Bombings Development.” Buku ini diluncurkan pada 18 Januari 2024, beberapa saat setelah Arsul dilantik menjadi Hakim Konstitusi.
Perbincangan mengenai terorisme mulai marak menyusul peristiwa Bom Bali pada 2002. Aksi bom bunuh diri yang dirancang Imam Samudra dkk. Dari Jamaah Islamiyah yang terafiliasi dengan Al-Qaeda pimpinan Usamah bin Laden ini memang menggemparkan dunia. Namun fenomena terorisme di Indonesia bukanlah hal baru karena sudah berlangsung dalam tiga rezim pemerintahan: Orde Lama, Orde Baru, dan era Reformasi, dan bahkan sudah terjadi ketika negeri ini merdeka. Berbagai literatur, misalnya, menyebutkan bahwa pemberontak DI/TII pada 1949 merupakan cikal-bakal terorisme. Hal yang, menurut Arsul, perlu diluruskan. Padahal satu tahun sebelum DI/TII melancarkan pemberontakan, menurut Arsul, PKI sudah melancarkan pemberontakan di Madiun pada 1948.
Lalu apa bedanya terorisme pada masa Orde Lama, Orde Baru, dan m era Reformasi atau kontemporer pasca-Bom Bali yang melahirkan UU Antiterorisme?
Dari segi pelaku, menurut Arsul, terorisme semula merupakan kejahatan yang dilakukan kelompok ekstremis lokal yang tidak memiliki kaitan dengan kelompok radikal atau teror di negara lain. Namun, kini berkembang menjadi kejahatan yang pelakunya merupakan bagian dari jaringan terorisme global.
Dalam pandangan Arsul, dari segi motif, terorisme di Indonesia juga mengalami perubahan. Pada dasawarsa pertama kemerdekaan, terorisme terutama terkait separatisme dan pemberontakan terhadap pemerintah. “Terorisme berlandaskan agama, sebagaimana dipahami dalam kajian dan legislasi terorisme saat ini, bukanlah motif pertama dan utama yang terjadi di tahun-tahun awal kemerdekaan Indonesia.” (hlm. 199). Arsul menegaskan, meskipun pemberontakan DI/TII atas nama Islam, pada awalnya bukan untuk mendirikan negara Islam, tetapi kekecewaan terhadap kebijakan pemerintah pusat yang kompromistis terhadap Belanda.
Sementara itu, munculnya faktor agama sebagai motivasi utama terorisme pada tahun 1970-an sampai 1980-an yang dilakukan oleh kelompok Islamis radikal, seperti Komando Jihad, diduga disusupi dan didalangi institusi intelijen negara. “Aksi teror yang diduga dilakukan oleh Komji dan sempalan-sempalannya kemudian dijadikan alasan oleh pemerintah untuk menindak mereka secara represif.” (hlm. 200). Namun Arsul juga mengingatkan, belakangan ini ada aksi terorisme yang sama sekali tidak terkait agama. Misalnya Organisasi Papua Merdeka atau OPM yang baru pada pertengahan 2021 disebut pemerintah sebagai kelompok teroris -separatis. Hanya saja, kata Arsul, sampai sekarang belum jelas apakah aparat penegak hukum sudah menerapkan UU Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme terhadap para kombatan OPM.
Buku ini ditutup dengan sebuah rekomendasi, terkait dengan usulan revisi KUHAP, yang harus “memperkenalkan ketentuan yang mengatur tentang apa yang disebut sebagai “pengadilan anumerta” atau “persidangan post-mortem” dalam kasus-kasus tertentu ketika terduga pelaku terorisme tewas ditembak kepolisian dalam operasi. Hal ini diperlukan untuk mengetahui status hukum orang yang meninggal dan memberikan keadilan kepada anggota keluarganya jika ia terbunuh secara tidak sengaja atau di luar hukum. (hlm. 210).
Seperti yang dikemukakan Dr. Luhut M.P. Pangaribuan, dosen FH UI, perlindungan HAM, due process of law, dan keadilan terhadap siapa pun dan dalam keadaan apa pun, harus tetap menjadi pegangan. Termasuk dalam penanggulangan tindak pidana terorisme. “Jangan pernah penilaian terhadap kejahatan termasuk terorisme menjadi pembenar untuk mendegradasi kemanusiaan terhadap mereka yang diduga terkait. Profesionalitas penegak hukum harus menjadi paradigma. Karena itu gagasan penulis dalam buku ini tentang ‘pengadilan anumerta’ menjadi layak dipertimbangkan untuk pembaruan KUHP,” kata Luhut yang juga pengacara ini.