Milenial (Muslim) Korea dan Geliat Spiritualnya

Sumber : tebuireng.online

Saya baru membaca tulisan Akmal Nasery Basral, dengan title barunya: sosiolog dan penulis. Mantan jurnalis sebuah majalah berita ini saya kenal pertama kali secara bertatap muka langsung saat ia diundang sharing di lembaga tempat saya bekerja, ACT (Aksi Cepat Tanggap, lembaga kemanusiaan) untuk berbincang (ia tak mau menyebutnya “pengajian”). Ia memprolog perbincangan itu dengan menjelaskan latar belakang novel barunya (ketika itu), mengenai Buya Hamka.


Perbincangan tentang Akmal Nasery diawali judul artikelnya: K-(Islamic) Pop: Gelombang Milenial Muslim Korea. Saya amat menikmati artikel itu. Ia mengantarkannya dengan kalimat: Semalam saya mendapat amanah sebagai khatib taraweh di Masjid Al Qalam, Citra Gran Cibubur, masjid yang nyaman, modern dan indah.


Saya tergiring untuk mengkepoin Daud Kim, mualaf Korea Selatan. Sebuah situs menyebutkan bahwa mereka mendapat informasi tentang konsep makanan halal dan mencicipinya. Hal itu dikuatkan visualisasi aktivitas Daud Kim yang juga seorang YouTuber dan konten kreator. David Kim mengkonversi keyakinannya menjadi muslim sejak September 2019. Aktivitasnya mengunhgah konten bernuansa Islam disukai banyak penonton Indonesia.

Daud Kim, Mualaf Korea Selatan


Tahun lalu (November 2021), David Kim mengajak boy group Megamax (MGX) untuk mencicipi makanan halal di HojiBobo Restaurant yang berlokasi di Itaewon, Seoul. Restoran ini mengklaim diri sebagai penyedia steak halal pertama di Korea Selatan. Influencer dan Youtuber seperti David Kim, juga Ayana Moon; Song Bora a.k.a. Ola; Yongsworld ( Yong Lee-seong); Ujung Oppa ( Joong Hwang-woo); dan Kang Nayeon a.k.a. Safiya Kang dan lainnya, seakan memicu pertanyaan di benak saya. Benarkah muslim Korea tengah menggeliat?


Saya sendiri, mulai melirik film-film Korea setelah merasa flm-film tayangan televisi nasional juga sejulah film dari stasiun televisi dari TV Kabel menayangkan film Barat (Hollywood dan Eropa). Pertanyaan menggelitik yang lain,”Apakah terjadi arus balik K-Pop ke arah berbeda?”
K (orea)-P adalah bagian dari tsunami kebudayaan halluu (gelombang Korea) yang “menyihir dunia. Turunan lainnya dari gelombang hallyu lainnya adalah K-drama (orang Indonesia menyebutnya ‘drakor’alias drama Korea), K-Fashion, K-Movie, dan sebagainya.


Kembali pada pertanyaan saya apakah terjadi pembalikan arus K-Pop, jawaban singkatnya adalah “tidak”. Atau lebih tepatnya “belum”. Gelombang K-Pop masih terlalu deras untuk dihalangi apalagi ditandingi. Namun sebagai “riak-riak alternatif”, apa yang dilakukan para influencer milenial muslim Korea itu bolehlah dijuluki sebagai “ K-(Islamic) Pop” sambil menunggu ditemukannya istilah lebih tepat dan sesuai perkembangan berikutnya.


Seperti disebutkan Akmal Nasery dalam artikelnya, “Daud Kim dkk ibarat datangnya fajar sebuah era. Bagaimana tidak? Bayangkan saja jika sampai Sensus 2005, Pemerintah Korea Selatan masih belum menyediakan kolom ‘Muslim’ sebagai satu kategori jawaban untuk identitas agama dalam sensus.” Akmal Nasery, menyoal tren Korea (Selatan), karena, seperti diakuinya, itu karena Akmal punya ikatan emosional ketika pada akhir Januari lalu ia merilis novel berjudul Sabai 선우 (baca: Sabai Sunwoo) yang beraroma Korea.


Akmal, sambil mempromomosikan novel barunya (terbitan MCL Publisher), ia menampilkan selintas peran Choi Yong-kil, muslim Korea yang menerjemahkan Al Qur’an ke dalam bahasa Hangul ketika dia belajar Islam di Madinah. Gelar PhD diperolehnya dari Omdurman Islamic University (OIU), Sudan. Saat ini dia dikenal sebagai Profesor Hamid Choi Yong-kil, Guru Besar Kajian Arab dan Islam di Universitas Myongji, Seoul. Akmal juga mengatakan, karya fenomenalnya yang lain adalah terjemahan kitab Shahih Imam Bukhari yang kini bisa dibaca masyarakat Korea dalam bahasa mereka. “Sebuah kerja literasi mengagumkan yang bahkan sulit dilakukan oleh mereka yang lahir dan besar sebagai muslim keturunan seperti saya,” ungkap Akmal Nasery.