10 Sahabat Nabi yang Dijamin Masuk Surga (7): Abdurahman bin Auf

ilustrasi : rahmatanlilalamin.or.id

Dalam hadis yang diiriwayatkan dari  Abdurrahman bin Auf, disebutkan 10 sahabat Nabi yang digembirakan atau dijamin bakal masuk surga. Mereka adalah  (1) Abu Bakar Ash-Shiddiq, (2)  Umar bin Khaththab. (3) Utsman bin Affan, (4) Ali bin Abi Thalib, (5) Zubair bin Awwam, (6)  Abu Ubaidah  Amir bin Al-Jarrah,  (7) Abdurrahman bin Auf, (8) Sa’d bin Abi Waqash, (9) Thalhah bin Ubidillah, (10) Sa’id bin Zaid.    Sebagaimana halnya pada figur dan perjuangan Rasulullah s.a.w., kita juga bisa mengambil suri tauladan dari para sahabat yang tergolong generasi pendahulu atau as-sabiquunal awaaluun itu. Beberapa tulisan terdahulu memuat masing-masing Abu Bakar Ash-Shiddiq,  Umar bin Al-Khaththab, Utsman bin Affan, Ali bin Abi Thalib,  Zubair bin Awwam, dan Abu Ubaidah bin Jarrah.   Tulisan berikut ini tentang Abdurrahman bin Auf, seorang saudagar yang kelak menentukan kekhalifahan setelah Umar bin Khaththab mangkat.   

Abdurrahman ibn Auf (wafat 31 H/652 M) adalah seorang pebisnis besar yang betul-betul mulai dari nol di saat Hijrah ke Madinah. Tak ada sesuatu pun harta yang ia bawa dari Mekah. Ketika ia dipersaudarakan dengan Sa’ad bin Rawi yang menawarkan separoh hartanya, Ibnu Auf pun menolak, dan hanya agar ditunjukkan jalan ke pasar saja. Ia  memulai berdagang tidak dengan pokok kapital atau modal. Tetapi dia memulainya dengan penuh kepercayaan kepada Allah, dengan tanggung jawab dan jujur dalam berjual beli, dengan penuh kepercayaan dan ikhlas serta merasa puas dengan keuntungan yang hanya sedikit. Di dalam usaha perdagangan ini dia selalu berusaha sungguh-sungguh, sehingga hartanya muncul memancar dan melimpah ruah.  Sampai diriwayatkan bahwa dia pernah mengatakan : “Seandainya saya mengangkat batu dari tempatnya niscaya saya akan menemukan harta di bawahnya.”

Banyak   yang menanyakan kiatnya beroleh sukses. Katanya, yang terpenting ia tidak pernah membatalkan, atau menunda penjualan (yang dalam hal ternak tentunya mengurangi risiko dan ongkos pemeliharaan). Juga tidak mengambil laba berlipat. Disebutkan, ia pernah menjual 1.000 unta dengan hanya menerima untung dari biaya pemberian makan dan harga talinya. Ia main omset, agaknya, dan dengan demikian menguasai pasar.

 Sahabat yang moralis dan digembirakan Nabi sebagai termasuk “10 Penduduk Surga” ini juga dikenal  seorang zuhud yang dermawan. Ia pernah menjual tanah, 40.000 dinar, yang hasilnya habis dibagi-bagi. Juga menyumbang 500  kuda untuk perlengkapan bala tentara. Menjelang wafat, ia menyerahkan cash 50.000 dinar untuk keperluan kaum muslimin dan 400 dinar untuk setiap veteran Perang Badar.  Nabi pernah berkata: “Ibn Auf, kamu termasuk golongan kaya…..dan akan masuk surga perlahan-lahan. Pinjamkanlah uang itu kepada Allah, Allah akan mempermudah langkahmu.”

Bagi Abdurrahman, harta merupakan benda yang dapat hilang dan merupakan kesenangan yang binasa. Ia senang terhadap harta sebab ia bertujuan untuk mendermakannya di jalan-jalan kebaikan. Menurut riwayat dari Az-Zuhri,  Abdurrahman bin Auf pada masa hidup  Rasulullah  pernah bersedekah dengan separo hartanya yaitu 4.000  dinar. Setelah itu bersedekah mengirimkan 500 kendaraan di jalan Allah. Kebanyakan harta yang disedekahkan itu adalah dari hasil perdagangan.

Menjelang wafat, Khalifah Umar yang  mendapat luka berat akibat ditikam Abu Lu’lu’ah, budak majusi Gubernur Kufah, Mughirah bin Syu’bah,  menunjuk enam tokoh terkemuka untuk berunding (paling lama tiga hari, katanya) memilih penggantinya. Mereka adalah Ali ibn Abi Thalib, Utsman bin Affan, Thalhah ibn Ubaidillah, Zubair bin Awwam,  Sa’d bin Abi Waqash, dan Abdurahman bin Auf sendiri, yang menjadi ketua sidang. Umar juga merekomendasikan putranya, Abdullah, sebagai adviseur, yang hanya kalau terjadi dead-lock akan memberikan suaranya. Meski ada yang menghendaki Abdullah saja menjadi khalifah, sang bapak melarang — bahkan untuk hanya dijadikan kandidat.

Tak heran bila yang diangkat sebagai ketua sidang adalah Abdurahman bin Auf. “Aku pernah mendengar Rasulullah  SAW  berkata, bahwa Anda adalah orang yang dipercaya penduduk langit dan dipercaya penduduk bumi,”  kata Ali kepadanya, menyatakan dukungan. Sebenarnya, rapat hanya diikuti enam orang, sebab Thalhah masih di luar kota. Berlangsung alot, rapat itu sampai hari ketiga belum menelurkan keputusan. Ketua kemudian menanyakan ini: “Siapa yang bersedia menyerahkan   jabatan ini kepada yang menurut dia lebih ahli”?

Mereka diam.

“Kalau begitu, Saudara-saudara, saya nyatakandi sini, saya tidak ingin dicalonkan….. Apa pendapatmu, Abul Hasan?“ tanya Abdurahman kepada Ali.

“Berilah saya janji yang teguh, bahwa Saudara-saudara lebih mementingkan kebenaran, dan bukan mengikuti hawa nafsu, bukan mementingkan orang karena kerabat, dan tidak mempermainkan kaum muslimin,” jawab Ali.

“Oke, saya setuju,” kata Abdurrahman.

Para kandidat pun berjanji. Mereka juga sepakat bahwa Abdurrahman-lah yang nanti menjatuhkan pilihan pemungkas. Sidang diskors, dan para peserta pulang.

Tapi sang ketua terus bekerja. Ia melakukan jajak pendapat. Dan, ternyata, banyak yang mendukung Utsman, meski Ali sebenarnya juga favorit. Buktinya, ketika  Abdurrahman meminta Zubair dan Sa’d mendukung Utsman saja, Zubair (yang di belakang memerangi Ali) menyatakan lebih suka memilih Ali. Sedangkan Sa’d malah mengatakan berbahagia kalau Abdurrahman sendiri yang jadi. Apa jawab orangnya? “Kalau saya masih mencalonkan diri, tentu pilihan saya nanti tidak adil…..”

Sehabis salat subuh, semua kandidat diminta berkumpul di masjid — bersama para pemuka Muhajirin dan Anshar serta para panglima. Orang banyak tumplek blek.

“Saya telah meneliti dengan saksama, bermusyawarah dengan orang-orang yang patut,”  Abdurrahman memulai pidato. “Karena itu, janganlah kalian berharap, wahai orang-orang terpilih dari kaum Quraisy, bahwa mandat ini berada di tangan kalian.”

Abdurrahman lalu memanggil Ali. Katanya, “Hendaklah Saudara memegang teguh janji Allah Hendaklah Saudara camkan benar-benar kitab Allah dan sunah Rasul-Nya dan perjalanan dua khalifah yang menggantikannya.”

“Saya akan berusaha sekuat tenaga dan sekadar ilmu saya.”

Lalu ia memanggil Utsman, mengatakan hal serupa. “Baiklah,” jawab Utsman. Tapi, bersamaan dengan itu, Abdurrahman memegang tangannya dan dengan demikian membaiat menantu Nabi yang seorang ini.

Ali menantu yang lain, kaget. Dan tidak menyembunyikan perasaannya. “Sudah kaujauhkan jabatan itu dari saya. Sejauh kiamat. Bukankah tidak sekali ini saja kau bersikap begitu kepada saya? Maka sebaiknya saya bersabar, semoga Allah menolong saya atas tindakanmu ini. Bukankah kau mengangkat Utsman agar kedudukan ini kelak jatuh ke tanganmu……”

“Ali”, jawab Abdurrahman dengan tenang. “Jangan kau jadikan jabatan ini untuk dirimu. Sebab, saya ini sudah menilik, sudah menyelidiki orang banyak……..”

Ali keluar dengan muram. Sementara itu orang beramai-ramai mulai membaiat Utsman. Melihat  itu Ali berbalik, ikut membaiat. Malahan juga Thalhah, kandidat yang baru muncul ketika pertemuan hampir bubar.

Abdurrahman bin Auf pada tahun 31 H dalam usia 72 tahun pada masa kekhalifahan Utsman bin Affan, dan dimakamkan di Baqi, Madinah.

Sumber:  Muhammad Ali Al-Quthub, Sepuluh Sahabat Dijamin Ahli Syurga; M.A. Shaban, Islamic History,  A New Interpretation  Vol. I (1976); M. Yusuf Al-Kandahlawy, Kehidupan para Sahabat Rasulullah SAW (1982).